BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia pada hakekatnya adalah
makhluk yang berinteraksi yang tidak hanya melulu berinteraksi secara ekslusif antar manusia, tetapi juga inklusif
dengan seluruh mikrokosmos. Terkadang manusia dalam interaksi sosialnya
di sadari maupun tidak sering menampakkan fenomena-fenomena yang berupa simbol-simbol dan mempunyai
banyak pemaknaan yang beragam antar individu. Fenomena berupa
simbol-simbol yang bisa ditangkap dan dimaknai di masyarakat merupakan
refleksi dari fenomena interaksionisme simbolis. Pemaknaan tersebut
didasarkan pada pemaknaan atas sesuatu yang dihadapinya lewat proses
yang oleh Blumer disebut self-indication. Proses self-indication adalah
proses komunikasi pada diri individu yang dimulai dari mengetahui
sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak
berdasarkan makna tersebut.
Singkatnya, manusia selalu
mengadakan interaksi. Setiap interaksi mutlak membutuhkan sarana
tertentu. Sarana menjadi medium simbolisasi dari apa yang di maksudkan
dalam sebuah interaksi. Oleh sebab itu tidaklah jauh dari benar manakala
para filsuf merumuskan diri manusia dalam konsep animal simbolicum
(makhluk simbolis) selain animal sociosus (makhluk berteman, berelasi)
dan konsep tentang manusia lainnya. Fokus tulisan ini ialah diri manusia
meurut perspektif teori
interaksi simbolik.
Apa itu "Teori Interaksi Simbolik"?
Teori interaksi simbolik berinduk pada perspektif fenomenologis. Istilah
fenomenologis, menurut Natanson, merupakan satu istilah generik yang
merujuk pada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap kesadaran
manusia dan makna obyektifnya sebagai titik sentral untuk memperoleh
pengertian atas tindakan manusia dalam sosial masyarakat. Pada tahun
1950-an dan 1960-an perspektif fenomenologis mengalami kemunduran.
Surutnya perspektif fenomenologis memberi kemungkinan bagi para ilmuwan
untuk memunculkan teori baru dalam bidang ilmu sosial. Kemudian
muncullah teori interaksi simbolik yang segera mendapat tempat utama dan
mengalami perkembangan pesat hingga saat ini. Max Weber adalah orang
yang turut berjasa besar dalam memunculkan teori interaksi simbolik.
Beliau pertama kali mendefinisikan tindakan sosial sebagai sebuah
perilaku manusia pada saat person memberikan suatu makna subyektif
terhadap perilaku yang ada. Sebuah tindakan bermakna sosial manakala
tindakan tersebut timbul dan berasal dari kesadaran subyektif dan
mengandung makna intersubyektif. Artinya terkait dengan orang di luar
dirinya. Teori interaksi simbolik dipengaruhi oleh struktur sosial yang
membentuk atau menyebabkan perilaku tertentu yang kemudian membentuk
simbolisasi dalam interaksi sosial masyarakat. Teori interaksi simbolik
menuntut setiap individu mesti proaktif, refleksif dan kreatif,
menafsirkan, menampilkan perilaku yang unik, rumit dan sulit
diinterpretasikan. Teori interaksi simbolik menekankan dua hal. Pertama,
manusia dalam masyarakat tidak pernah lepas dari interaksi sosial.
Kedua ialah bahwa interaksi dalam masyarakat mewujud dalam simbol-simbol
tertentu yang sifatnya cenderung dinamis.
Teori ini akan berhubungan
dengan struktur-struktur sosial, bentuk-bentuk kongkret dari perilaku
individual atau sifat-sifat batin yang bersifat dugaan, Interaksionisme
simbolik memfokuskan diri pada hakekat interaksi, pada pola-pola
dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial. Paham interaksi simbolis ditujukan untuk mempelajari cara
sekumpulan orang membentuk makna suatu objek. Interaksi simbolis
(SI-Symbolic Interactionism) merupakan sebuah cara berpikir
mengenai pikiran, individu, dan masyarakat yang memiliki peranan yang
cukup besar pada tradisi sosiokultural dalam teori komunikasi. Dengan
adanya landasan dalam bidang sosiologi SI menjelaskan bahwa selama
seorang individu berinteraksi dengan individu lainnya, mereka tengah
bertukar pemahaman mengenai tindakan dan situasi tertentu. Interaksi antarindividu melibatkan suatu pertukaran
simbol. KeTika
kita berinteraksi dengan yang lainnya, kita secara konstan mencari
“petunjuk” mengenai tipe perilaku apakah yang cocok dalam konteks itu
dan mengenai bagaimana menginterpretasikan apa yang dimaksudkan oleh orang lain.
Interaksionisme simbolik mengarahkan perhatian kita pada interaksi
antara individu, dan bagaimana hal ini bisa dipergunakan untuk mengerti
apa yang orang lain katakan dan lakukan kepada kita sebagai individu. Pada akhirnya interaksi
melalui simbol yang baik, benar dan dipahami secara utuh akan membidani lahirnya berbagai kebaikan dalam hidup
manusia.
PEMBAHASAN
Tokoh-tokoh interaksi
simbolik
George Herbert Mead dipandang sebagai tokoh utama dikalangan
penganut interaksionisme terdahulu. Mead dipandang sebagai orang pertama
yang menjelaskan doktrin filsafat interaksionisme simbolis yang
benar-benar konsisten. George Herbert Mead adalah salah satu pencetus
paham interaksi simbolis, dan ia mengemukakan bahwa makna atau pemahaman
muncul dari proses interaksi manusia baik secara verbal maupun
nonverbal. Melalui tindakan dan tanggapan, kita membentuk makna tentang
suatu kata dan tindakan serta memahami suatu peristiwa tertentu.
Tokoh teori simbolik antara laian : George
Herbert Mend, Herbert Blumer, Wiliam James, Charles Horton Cooley. Teori
interaksi simbolik menyatakan bahwa interaksi sosial adalah symbol.
Manusia berinteraksi dengan yang lain dengan cara menyampaikan simbol
yang lain memberi makna atas simbol tersebut.
Asumsi-asumsi teori:
1. Masyarakat
terdiri dari manusia yang berinteraksi melalui tindakan bersama dan
membentuk organisasi.
2. Interaksi
simbolik mencakup pernafsiran tindakan. interaksi non simbolik hanyalah
mencakup stimulus respon yang sederhana.
Herbert Blummer
Herbert Blumer dan George Herbert Mead adalah yang
pertama-tama mendefinisikan teori symbolic interactionism.
Blumer mengutarakan tentang tiga prinsip utama interaksionisme simbolik,
yaitu tentang pemaknaan (meaning), bahasa (language),
dan pikiran (thought). Premis ini nantinya mengantarkan kepada
konsep ‘diri’ seseorang dan sosialisasinya kepada ‘komunitas’ yang
lebih besar, masyarakat. Blumer mengajukan premis pertama, bahwa human
act toward people or things on the basis of the meanings they assign to
those people or things. Maksudnya, manusia bertindak atau bersikap
terhadap manusia yang lainnya pada dasarnya dilandasi atas pemaknaan
yang mereka kenakan kepada pihak lain tersebut.
Sebagai contoh, dalam film Kabayan, tokoh Kabayan
sebenarnya akan memiliki makna yang berbeda-beda berpulang kepada siapa
atau bagaimana memandang tokoh tersebut. Ketika Kabayan pergi ke kota besar, maka masyakat kota besar tersebut mungkin akan
memaknai Kabayan sebagai orang kampung, yang kesannya adalah norak,
kampungan. Nah, interaksi antara orang kota dengan Kabayan dilandasi pikiran
seperti ini. Padahal jika di desa tempat dia tinggal, masyakarat di sana memperlakukan
Kabayan dengan cara yang berbeda, dengan perlakuan lebih yang ramah.
Interaksi ini dilandasi pemikiran bahwa Kabayan bukanlah sosok orang
kampung yang norak.
Once
people define a situation as real, its very real in its consequences.
Pemaknaan tentang apa yang nyata bagi kita pada hakikatnya berasal dari
apa yang kita yakini sebagai kenyataan itu sendiri. Karena kita yakin
bahwa hal tersebut nyata, maka kita mempercayainya sebagai kenyataan.
Dalam contoh yang sama, ketika kita memaknai Kabayan sebagai orang yang
kampungan, maka kita menganggap pada kenyataannya Kabayan memang adalah
orang yang kampungan. Begitu pula sebaliknya.
Premis kedua Blumer adalah meaning
arises out of the social interaction that people have with each other.
Pemaknaan muncul dari interaksi sosial yang dipertukarkan di antara
mereka. Makna bukan muncul atau melekat pada sesuatu atau suatu objek
secara alamiah. Makna tidak bisa muncul ‘dari sananya’. Makna berasal
dari hasil proses negosiasi melalui penggunaan bahasa (language)—dalam
perspektif interaksionisme simbolik. Di sini, Blumer menegaskan tentang
pentingnya penamaan dalam proses pemaknaan. Sementara itu Mead juga
meyakini bahwa penamaan simbolik ini adalah dasar bagi masyarakat
manusiawi (human society). Ketika kita menyebut Kabayan tadi
dengan bahasa kampungan, konsekuensinya adalah kita menarik pemaknaan
dari penggunaan bahasa ‘kampungan’ tadi. Kita memperoleh pemaknaan dari
proses negosiasi bahasa tentang kata ‘kampungan’. Makna dari kata
‘kampungan’ tidaklah memiliki arti sebelum dia mengalami negosiasi di
dalam masyarakat sosial di mana simbolisasi bahasa tersebut hidup. Makna
kata kampungan tidak muncul secara sendiri, tidak muncul secara
alamiah. Pemaknaan dari suatu bahasa pada hakikatnya terkonstruksi
secara sosial.
Premis
ketiga Blumer adalah an individual’s interpretation of symbols is
modified by his or her own thought process. Interaksionisme
simbolik menggambarkan proses berpikir sebagai perbincangan dengan diri
sendiri. Proses berpikir ini sendiri bersifat refleksif. Nah, masalahnya
menurut Mead adalah sebelum manusia bisa berpikir, kita butuh bahasa.
Kita perlu untuk dapat berkomunikasi secara simbolik. Bahasa pada
dasarnya ibarat software yang dapat menggerakkan pikiran kita.
Cara bagaimana manusia berpikir banyak ditentukan
oleh praktek bahasa. Bahasa sebenarnya bukan sekedar dilihat sebagai
‘alat pertukaran pesan’ semata, tapi interaksionisme simbolik melihat
posisi bahasa lebih sebagai seperangkat ide yang dipertukarkan kepada
pihak lain secara simbolik. Komunikasi secara simbolik.
George
Herbert Mead
Perbedaan penggunaan bahasa pada akhirnya juga
menentukan perbedaan cara berpikir manusia tersebut. Contoh sederhana
adalah cara pikir orang yang berbahasa indonesia tentunya berbeda dengan
cara pikir orang yang berbahasa jawa. Begitu pula orang yang berbahasa
sunda akan berbeda cara berpikirnya dengan orang yang berbahasa inggris,
jerman, atau arab. Akan tetapi walaupun pemaknaan suatu bahasa banyak
ditentukan oleh konteks atau konstruksi sosial, seringkali interpretasi
individu sangat berperan di dalam modifikasi simbol yang kita tangkap
dalam proses berpikir. Simbolisasi dalam proses interaksi tersebut tidak
secara mentah-mentah kita terima dari dunia sosial, karena kita pada
dasarnya mencernanya kembali dalam proses berpikir sesuai dengan
preferensi diri kita masing-masing.
Walaupun secara sosial kita berbagi simbol dan
bahasa yang sama dalam kontek Kabayan dan kata kampungan tadi, belum
tentu dalam proses berpikir kita sama-sama menafsirkan kata Kabayan dan
kampungan dengan cara atau maksud yang sama dengan orang yang lainnya.
Semuanya sedikit banyak dipengaruhi oleh interpretasi individu dalam
penafsiran simbolisasi itu sendiri.
Pemaknaan merujuk kepada bahasa. Proses berpikir
merujuk kepada bahasa. Bahasa menentukan bagaimana proses pemaknaan dan
proses berpikir. Jadi, ketiganya saling terkait secara erat. Interaksi
ketiganya adalah yang menjadi kajian utama dalam perspektif
interaksionisme simbolik.
Dalam tataran konsep komunikasi, maka secara
sederhana dapat dilihat bahwa komunikasi hakikatnya adalah suatu proses
interaksi simbolik antara pelaku komunikasi. Terjadi pertukaran pesan
(yang pada dasarnya terdiri dari simbolisasi-simbolisasi tertentu)
kepada pihak lain yang diajak berkomunikasi tersebut. Pertukaran pesan
ini tidak hanya dilihat dalam rangka transmisi pesan, tapi juga dilihat
pertukaran cara pikir, dan lebih dari itu demi tercapainya suatu proses
pemaknaan. Komunikasi adalah proses interaksi simbolik dalam bahasa
tertentu dengan cara berpikir tertentu untuk pencapaian pemaknaan
tertentu pula, di mana kesemuanya terkonstruksikan secara sosial.
Mungkin kontribusi terbesar Mead terhadap bagaimana kita memahami cara
kita berpikir adalah konsepsi Mead tentang ‘seni berperan’ (take the
role of the other).
Setelah kita paham tentang konsep meaning,
language, dan thought saling terkait, maka kita dapat
memahami konsep Mead tentang ‘diri’ (self). Konsep diri menurut
Mead sebenarnya kita melihat diri kita lebih kepada bagaimana orang
lain melihat diri kita (imagining how we look to another person).
Kaum interaksionisme simbolik melihat gambaran mental ini sebagai the
looking-glass self dan bahwa hal tersebut dikonstruksikan secara
sosial.
Dalam
konsepsi interaksionisme simbolik dikatakan bahwa kita cenderung
menafsirkan diri kita lebih kepada bagaimana orang-orang melihat atau
menafsirkan diri kita. Kita cenderung untuk menunggu, untuk melihat
bagaimana orang lain akan memaknai diri kita, bagaimana ekspektasi orang
terhadap diri kita. Oleh karenanya konsep diri kita terutama kita
bentuk sebagai upaya pemenuhan terhadap harapan atau tafsiran orang lain
tersebut kepada diri kita.
Kita acap kali mencoba memposisikan diri ke dalam
orang lain, dan mencoba melihat bagaimanakah perspektif orang tersebut
ketika memandang diri kita. Kita semacam meminjam kaca mata orang lain
tersebut untuk dan dalam melihat diri kita. Konsep diri adalah fungsi
secara bahasa. Tanpa pembicaraan maka tidak akan ada konsep diri. Nah,
konsep diri ini sendiri pada nantinya terbentuk atau dikonstruksikan
melalui konsep pembicaraan itu sendiri, melalui bahasa (language).
Sebagai contoh adalah bagaimana
proses komunikasi dan permainan bahasa yang terjadi dalam hubungan
antara dua orang, terutama pria dengan wanita. Ketika mereka
berkomunikasi dengan menggunakan simbolisasi bahasa SAYA dan ANDA, maka
konsep diri yang terbentuk adalah “dia ingin diri saya dalam status yang
formal”. Atu misalkan simbolisasi bahasa yang dipakai adalah ELO dan
GUE maka konsep diri yang terbentuk adalah “dia ingin menganggap saya
sebagai teman atau kawan semata”. Dan tentunya akan sangat berbeda jika
simbolisasi yang digunakan adalah kata AKU dan KAMU, maka konsep diri
yang lebih mungkin adalah “dia ingin saya dalam status yang lebih
personal, yang lebih akrab” atau lebih merujuk kepada konsep diri bahwa
“kita sudah jadian atau pacaran”. Misalkan. Jadi, dalam suatu proses
komunikasi, simbolisasi bahasa yang digunakan akan sangat berpengaruh
kepada bagaimana konsepdiri yang nantinya akan terbentuk.
Lebih luas lagi pada dasarnya
pola komunikasi ataupun pola interaksi manusia memang bersifat demikian.
Artinya, lebih kepada proses negosiasi dan transaksional baik itu antar
dua individu yang terlibat dalam proses komunikasi maupun lebih luas
lagi bagaimana konstruksi sosial mempengaruhi proses komunikasi itu
sendiri. Teori interaksionisme simbolik mendeskripsikan hal ini secara
gamblang.
Proses
Penelitian
Dalam pemaknaan interaksi
simbolik, bisa melalui proses: (1) terjemah (translation) dengan cara
mengalih bahasakan dari penduduk asli dan memindahkan rekaman ke
tulisan; (2) penafsiran, perlu dicari latar belakangnya, konteksnya,
agar terangkum konsep yang jelas; (3) ekstrapolasi, lebih menekankan
kemampuan daya pikir manusia untuk mengungkap di balik yang tersaji; (4)
pemaknaan, menuntut kemampuan integratif manusia, inderawinya, daya
pikirnya, dan akal budi.
Pemaknaan sebaiknya memang tidak
mengandalkan pandangan “subjektif murni” dari pemilik budaya, melainkan
menggunakan wawasan “intersubjektif’. Artinya, peneliti berusaha
merekonstruksi realitas budaya yang terjadi melalui interaksi antar
anggota komunitas. Pada saat interaksi itu terjadi, peneliti bisa
melakukan umpan balik berupa pertanyaan-pertanyaan yang saling
menunjang. Pancingan-pancingan pertanyaan peneliti yang menggelitik,
akan memunculkan makna dalam sebuah interaksi antar pelaku budaya.
Penafsiran bukanlah tindakan bebas, melainkan perlu bantuan
yang lain, yaitu sebuah interaksi. Melalui interaksi seseorang dengan
orang lain, akan terbentuk pengertian yang utuh. Penafsiran semacam ini
menurut Moleong (2001:11) lebih esensial dalam interaksi simbolik. Oleh
karena interaksi menjadi paradigma konseptual yang melebihi “dorongan
dari dalam”, “sifat-sifat pribadi”, “motivasi yang tidak disadari”,
“kebetulan”, “status sosial ekonomi”, “kewajiban peranan”, atau
lingkungan fisiknya. Konsep teoritik mungkin bermanfaat, namun hanya
relevan sepanjang memasuki proses pendefinisian.
Implikasi interaksi simbolik
menurut Denzin (Mulyana, 2002:149) perlu memperhatikan tujuh hal, yaitu:
(1) simbol dan interaksi harus dipadukan sebelum penelitian tuntas, (2)
peneliti harus memandang dunia atas dasar sudut pandang subjek, (3)
peneliti harus mengaitkan simbol dan subjek dalam sebuah interaksi, (4)
setting dan pengamatan harus dicatat, (5) metode harus mencernunkan
proses perubahan, (6) pelaksanaan harus berbentuk interaksi simbolik,
(7) penggunaan konsep awalnya untuk mengarahkan kemudian ke operasional,
proposisi yang dibangun interaksional dan universal.
Atas dasar berbagai rujukan interaksionis simbolik, peneliti
budaya memang harus cermat dalam memperhatikan interaksi manusia dalam
komunitas budaya. Interaksi manusia tersebut, umumnya ada yang
berencana, tertata, resmi, dan juga tidak resmi. Berbagai momen
interaksi dalam bentuk apa pun, perlu diperhatikan oleh peneliti budaya.
Pelaku budaya tidak dapat dianggap sebagai komunitas yang pasif,
melainkan penuh interaksi dinamis yang banyak menawarkan simbol-simbol.
Pada saat ini peneliti segera memasuki interaksi budaya pelaku.
Dalam setiap gerak, pelaku budaya akan berinteraksi dengan
yang lain. Pada saat itu, mereka secara langsung maupun tidak langsung
telah membeberkan stock of culture yang luar biasa banyaknya.
Persediaan pengetahuan budaya yang ditampilkan lewat interaksi
itulah yang menjadi fokus penelitian jnodel interaksionis simbolik.
Dari interaksi tersebut, akan muncul sejumlah tanda-tanda, baik verbal
maupun non verbal yang unik.
Oleh karena kemajuan zaman
semakin pesat, peneliti juga perlu memperhatikan ketika pelaku budaya
berinteraksi melalui alat-alat canggih. Mungkin sekali mereka
berinteraksi menggunakan HandPhone (HP), internet, faximile, surat dan
lain-lain. Seluruh aktivitas budaya semacam itu tidak lain merupakan
incaran peneliti interaksionis simbolik. Yang perlu diingat oleh
peneliti budaya adalah, bahwa pelaku itu sendiri adalah aktor yang tidak
kalah cerdiknya dengan pemain drama. Karena itu
dari waktu ke waktu interaksi mereka perlu dicermati secara mendalam.
Jangan sampai ada interaksi semu yang sengaja menjebak peneliti.
Menurut pandangan model interaksionis simbolik perilaku budaya
akan berusaha menegakkan aturan-aturan, hukum, dan norma yang berlaku
bagi komunitasnya. Jadi, bukan sebalilrnya interaksi mereka dibingkai
oleh aturan-aturan mati, melainkan melalui interaksi simbolik akan
muncul aturan-aturan yang disepakati secara kolektif. Makna budaya akan
tergantung proses interaksi pelaku. Makna biasanya muncul dalam satuan
interaksi yang kompleks, dan kadangkadang juga dalam interaksi kecil
antar individu.
Dengan’demikian, model
interaksionis simbolik akan menganalisis berbagai hal tentang simbol
yang terdapat dalam interaksi pelaku. Mungkin sekali pelaku budaya
menggunakan simbol-simbol ,
unik atau spesial yang hanya
dapat dipahami ketika mereka saling berinteraksi. Katakan saja,
kemenyan dan bunga kantil, keduanya kalau berdiri sendiri belum
mewujudkan sebuah simbol bermakna. Namun, ketika benda tersebut
diletakkan pada salah satu prosesi budaya, diberi mantra oleh seorang
dukun dan sebagainya, barulah benda simbolik ‘ itu bermakna.
Itulah sebabnya ada beberapa
catatan penting yang perlu diperhatikan bagi peneliti interaksionis
simbolik, yaitu: (1) simbol akan bermakna penuh ketika berada dalam
konteks interaksi aktif, (2) pelaku budaya akan mampu merubah simbol
dalam interaksi sehingga menimbulkan makna yang berbeda dengan makna
yang lazim, (3) pemanfaatan simbol dalam interaksi budaya kadang-kadang
lentur dan tergantung permainan bahasa si pelaku, (4) makna simbol dalam
interaksi dapat bergeser dari tempat dan waktu tertentu.
Atas dasar hal-hal tersebut di atas, berarti interaksionis
simbolik merupakan model penelitian yang lebih cocok diterapkan untuk
mengungkap makna prosesi budaya sebuah komunitas. Dari prosesi itu akan
terungkap makna di balik interaksi budaya antar pelaku. Tentu saja, yang
diharapkan adalah pengungkapan proses budaya secara natural, bukan
situasi buatan.
Memang harus disadari bahwa
interaksionis simbolik tetap memiliki berbagai kelemahan dasar. Antara
lain, seringkali model penelitian ini kurang memperhatikan masalah emosi
dan gerak bawah sadar manusia dalam interaksi. Interaksionisme simbolik
lebih memahami hal-hal yang.kpnkret dalam interaksi baru ditafsirkan,
padahal di balik jiwa manusia terdapat gelombang besar yang
kadang-kadang tidak tampak. Namun demikian, interaksionis simbolik tetap
memiliki kekuatan empiris yang patut dipuji. Di samping itu, melalui
pemaknaan simbol berdasarkan interaksi, berarti penafsiran selalu
berada pada konteksnya.
Tiga konsep
utama dalam teori Mead adalah ; Masyarakat, Individu, Pikiran
Masyarakat,
atau kehidupan kelompok,
melibatkan perilaku kooperatif dari anggota masyarakat. Adapun
masyarakat terdiri atas sebuah jaringan interaksi sosial dimana para
partisipannya membentuk makna dari tindakan yang dilakukan oleh dirinya
dan orang lain dengan menggunakan simbol-simbol yang muncul. Hubungan
masyarakat dapat terjadi karena adanya simbol. Kemampuan untuk
menyuarakan simbol membuat kita dapat mendengar suara kita sendiri dan
menanggapinya sebagaimana orang lain menanggapi apa yang kita suarakan.
Bahkan institusi masyarakat dibentuk dari sejumlah interaksi dilakukan
oleh orang-orang yang terlibat didalamnya.
Pengaruh antara memberi tanggapan
pada orang lain dan memberi tanggapan pada diri sendiri merupakan
konsep penting dalam teori Mead khususnya dalam menghasilkan suatu
transisi yang baik terhadap konsep keduanya – individu.
Seorang individu memiliki dua
bagian yang memiliki fungsi dasar masing-masing. Aku adalah
bagian yang impulsif, tidak terstruktur, tidak memiliki tujuan, dan
tidak terduga; sedangkan saya merupakan bagian dari persepsi umum
dan menciptakan pola yang terstruktur dan konsisten.
Kemampuan Anda dalam menggunakan
simbol-simbol tertentu untuk menanggapi diri sendiri memungkinkan
terjadinya proses berpikir. Berpikir adalah bagian dari konsep ketiga
Mead, yaitu pikiran. Pikiran bukanlah suatu objek melainkan
proses interaksi yang dilakukan dengan diri sendiri.
Berpikir melibatkan rasa ragu (penundaan suatu tindakan) saat Anda
melakukan interpretasi terhadap suatu situasi. Dalam hal ini muncul
pertimbangan terhadap situasi tersebut dan hal yang akan terjadi
selanjutnya. Hal tersebut menyebabkan munculnya sejumlah alternatif dan
jalan keluar.
Kapanpun dua atau lebih manusia dapat berkomunikasi satu sama
lain, mereka dapat, berdasarkan persetujuan bersama, menjadikan sesuatu
lainnya.
Misalnya,
berikut ini adalah dua symbol.
X dan Y
Kita bisa sepakat menggunakan X
untuk mewakili kancing dan Y mewakili ikatan simpul; kemudian kita dapat
secara bebas mengubah kesepakatan kita menggunakan X untuk mewakili
Bandung dan Y untuk mewakili Majalengka. Kita sebagai manusia, secara
unik bebas menghasilkan, mengubah, dan menentukan nilai-niali bagi
symbol-simbol sesuka kita. Setiap tindakan yang kita lakukan dalam
kehidupan sehari-hari itu muncul dari “aku”, sementara “saya” akan
mengendalikan tindakan itu dengan memberikan arahan dan bimbingan.
Perspektif Interaksi simbolik
Berusaha memahami budaya lewat
prilaku manusia yang terpantul dalam komunikasi. Interaksi simbolik
lebih menekankan pada makna “interaksi budaya sebuah komunitas” Makna esensial akan tercermin
melalui komunikasi budaya antar warga setempat. Pada saat berkomunikasi
jelas banyak menampilakan simbol bermakna. Sebagai contoh, dalam film
kabayan, tokoh kabayan sebenarnya akan memiliki makna yang berbeda-beda
berpulang kepada siapa atau bagaimana memandang tokoh tersebut. Ketika
Kabayan pergi ke kota besar,, maka masyarakat kota besar tersebut
mungkin akan memaknai kabayan sebagai orang kampung, yang kesannya
adalah norak, kampungan. Nah, interaksi antara orang kota dengan kabayan
dilandasi pikiran seperti ini. Padahal jika didesa tempat dia tinggal,
masyarakat di sana memperlakukan kabayan dengan cara yang berbeda,
dengan perlakuan lebih yang ramah. Interaksi ini dilandasi pemikiran
bahwa kabayan bukanlah sosok orang kampung yang norak.
Berinteraksi Melalui Simbol
Pada dasarnya teori interaksi
simbolik berakar dan berfokus pada hakikat manusia yang adalah makhluk
relasional. Setiap individu pasti terlibat relasi dengan sesamanya.
Tidaklah mengherankan bila kemudian teori interaksi simbolik segera
mengedepan bila dibandingkan dengan teori-teori sosial lainnya.
Alasannya idalah diri manusia muncul dalam dan melalui interaksi dengan
yang luar diirinya. Interaksi itu sendiri membutuhkan simbol-simbol
tertentu. Simbol-misalnya bahasa, tulisan dan simbol lainnya yang
dipakai-bersifat dinamis dan unik.
Keunikan dan dinamika simbol
dalam proses interaksi sosial menuntut manusia harus lebih kritis, peka,
aktif dan kreatif dalam menginterpretasikan simbol-simbol yang muncul
dalam interaksi sosial. Penafsiran yang tepat atas simbol tersebut turut
menentukan arah perkembangan manusia dan lingkungan. Sebaliknya,
penafsiran yang keliru atas simbol dapat menjadi petaka bagi hidup
mansuia dan lingkungannya.
Cara
Kerja Teori Interaksionisme Simbolis
Teori interaksionisme simbolis
adalah suatu faham atau aliran yang implementasinya menginterpretasikan
pemaknaan dalam interaksi sosial antar individu satu dengan yang lain
dimulai dari mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna yang
dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol, oleh penafsiran, dan oleh
kepastian makna dari tindakan orang lain yang bukan hanya sekedar saling
bereaksi sebagaimana model stimulus respons. Teori ini dicanangkan
sebagai studi perilaku individu dan atau kelompok kecil masyarakat
melalui serangkaian pengamatan dan deskripsi. Metode ini berlandaskan
pada pengamatan atas apa yang diekspresikan orang meliputi
penampilannya, gerak-geriknya, dan bahasa simbolik yang muncul dalam
situasi sosial. Seperti yang diterangkan Seperti yang dikatakan Francis
Abraham dalam Modern Sociological Theory (1982), bahwa interaksionisme
simbolik pada hakikatnya merupakan sebuah perspektif yang bersifat
sosial-psikologis yang terutama relevan untuk penyelidikan sosiologis.
Teori ini akan berurusan dengan struktur-struktur sosial, bentuk-bentuk
kongkret dari perilaku individual atau sifat-sifat batin yang bersifat
dugaan, interaksionisme simbolik memfokuskan diri pada hakekat
interaksi, pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan
sosial.
Kegunaan Teori ini
Kegunaan daripada
teori ini ternyata sangat berpengaruh dalam kajian komunikasi
1. Menggunakan teori ini untuk mengkritik penggambaran gender
dalam iklan;
2. Mempelajari pengaruh naratif dalam keluarga terhadap kemampuan
seseorang untuk berkomunikasi mengenai kematian
3. Mempelajari mengenai pilihan manajer untuk berkomunikasi tatap
muka, komunikasi tertulis, dan komunikasi secra elektronik
4. Menemukan bahwa teori ini membingkai perasaan orang dewasa
yang lebih tua mengenai identitas gender
5. Mengkaji organisasi sebagai sistem interpretasi yang
dipengaruhi oleh interaksi simbolik
6. mengamati bahwa interaksi simbolik
adalah sebuah komunikasi teori bukan satu teori yang sederhana
Kaitan
Dengan Ilmu Lainnya
Interaksi simbolik
ini kemudian saling bergandengan dengan studi media, cultural studies,
fenomenologi, semiotika, posmodernisme, posstrukturalisme, etnografi,
etnometodologi, dramaturgi, dekonstruksi, dan berbagai studi lainnya
sebagai bagian yang erat dari tubuh komunikasi interaksi dalam memahami
manusia dari titik pandang yang khas, meskipun tidak selamanya bisa
ditemukan dengan jelas dimana batas antara ilmu yang satu dengan ilmu
yang Lainnya.
Kerangka dan asumsi teori
Pentingnya Makna Bagi Perilaku
Manusia
Teori interaksi sombolik berpegang pada individu membentuk
makna melalui proses komunikasi karena makna tidak bersifat intrinsik
terhadap apapun. di butuhkan kontruksi interfretatif di antara
orang-orang untuk menciftakan bahkan tujuan dari
interaksi adalah menciptakan makna yang sama.
Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna
yang diberikan orang lain kepada mereka
Makna yang kita berikan pada simbol merupakan produk dari
interaksi sosial dan menggambarkan kesepakatan kita untuk menerapkan
makna tertentu pada simbol tertentu pula.
Sebuah Contoh : cincin memiliki makna ketika orang
berinteraksi dan menganggapnya sebagai sesuatu yang penting ”cincin
perkawinan dihubungkan dengan cinta dan komitmen”.cincin adalah simbol
ikatan resmi dan emosional, dan karenanya kebanyakan orang menghubungkan
simbol ini dengan konotasi fositif. Walaupun demikian, ada juga yang
melihat pernikahan sebagai sebuah institusi yang operatifoarang tersebut
akan memberikan reaksi yang negatif terhadap cincin kawin dan segala
simbol lainnya yang meraka anggap sebagai situasi
yang merendahkan.
Makna diciptakan dalam interaksi
antar manusia
Dalam teori ini kita akan melihat makna ada melalui pemahaman
bersama sebagai mana yang diaktakan oleh Mead, Mead menerangkan dasar
intersubjektif dari makna. Makna dapat ada, menurut mead, hanya ketika
orang-orang memiliki interpretasi yang sama mengenai simbol yang mereka
pertukarkan dalam interaksi. Pendapat Blumer ada tiga tanda untuk
menjelaskan asal sebuah makna”
1. Pertama
seatu pendekatan mengatakan bahwa makna adalah sesuatu yang bersifat
intrinsik dari benda.
2.
Asal-usul makna melihat makna itu
3.
Makna adalah ”produk sosial”
Makna dimodifikasi melalui proses
interpretatif
Kata blumer bahwa proses interfretatif ini memilki dua langkah
, pertama para pelaku menentukan benda-benda yang mempunyai makna.
Kedua melibatkan si pelaku untuk memilih, mengecek, dan
melakukan transformasi makna didalam kontek dimana mereka berada.
Pentingnya konsep diri
Tema kedua ini fokus kita kepada konsep diri ( self-concept),
atau seperangkat persepsi yang relatif setabil yang dipercaya orang
mengenai dirinya sendiri. Ketika roger (atau setiap para aktor sosial)
menyatakan pertanyaan ” Siapa kah diri saya? ” maka jawabannya
berhubungan dengan konsep diri, dan ini di akui oleh roger tentang
ciri-ciri fisiknya, peranan, talenta, keadaan emosi, nilai,
keterampilan, dan keterbatasan sosial, intelektualitas, dan seterunya
membentuk konsep dirinya.
0 komentar:
Posting Komentar