Interaksi Simbolik
Teori ini menyatakan bahwa Interaksi sosial pada hakekatnya adalah
Interaksi simbolik. Manusia berinteraksi dengan yang lain dengan cara
menyampaikan simbol, yang lain memberi makna atas simbol tersebut.
Stratifikasi Sosial/Pelapisan Sosial
Adalah pembedaan tinggi rendah kedudukan sekelompok orang atau
seseorang di bandingkan dengan seseorang atau sekelompok orang dalam
masyarakat. Pelapisan Sosial dapat terjadi karena pengaruh berbagai
kriteria, antara lain:
- Ekonomi (kekayaan)
- Politik (Kekuasaan)
- Sosial (Martabat)
Pengertian Berfikir
Adalah proses memahami natalitas dalam rangka mengambil kesimpulan dan menghasilkan masalah baru. Cara orang berfikir yaitu dengan menggunakan Austik (melamun, fantasi, berkaca dll) dan dengan realiustik (nalar, sesuai dengan dunia nyata).
Tokoh Interaksi Simbolik
Adalah proses memahami natalitas dalam rangka mengambil kesimpulan dan menghasilkan masalah baru. Cara orang berfikir yaitu dengan menggunakan Austik (melamun, fantasi, berkaca dll) dan dengan realiustik (nalar, sesuai dengan dunia nyata).
Tokoh Interaksi Simbolik
- George Herbert Mead
- Herbet Blummer
- William Jones
- Charles Horton Cooley
- John Dewey
Persepsi
Adalah proses memberi makna pada sensasi sehingga memperoleh
pengetahuan sesuai dengan yang di inginkan atau dengan kata lain adalah
proses memberi makna pada stimuli inderawi.
Adapun faktor personal yang mempengaruhi persepsi adalah :
Adapun faktor personal yang mempengaruhi persepsi adalah :
- Perhatian (Attention)
- Faktor biologis
- Faktor Psikologis
Tokoh teori interaksi simbolik antara lain : George Herbert Mend,
Herbert Blumer, Wiliam James, Charles Horton Cooley. Teori
interaksi simbolik menyatakan bahwa interaksi sosial adalah interaksi
symbol. Manusia berinteraksi dengan yang lain dengan cara menyampaikan
simbol yang lain memberi makna atas simbol tersebut.
Asumsi-asumsi:
- Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi melalui tindakan bersama dan membentuk organisasi.
- Interaksi simbolik mencangkup pernafsiran tindakan. Interaksi non simbolik hanyalah mencangkup stimulus respon yang sederhana.
perspektif interaksi simbolik
berusaha memahami budaya lewat perilaku manusia yang terpantul dalam
komunikasi. interaksi simbolik lebih menekankan pada makna “interaksi
budaya sebuah komunitas”
makna esensial akan tercermin melalui komunikasi budaya antar warga
setempat. pada saat berkomunikasi jelas banyak menampilkan simbol yang
bermakna.
TEORI INTERAKSI SIMBOLIK
Tokoh teori interaksi simbolik antara lain : George Herbert Mend,
Herbert Blumer, Wiliam James, Charles Horton Cooley. Teori
interaksi simbolik menyatakan bahwa interaksi sosial adalah interaksi
symbol. Manusia berinteraksi dengan yang lain dengan cara menyampaikan
simbol yang lain memberi makna atas simbol tersebut.
Asumsi-asumsi:
- Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi melalui tindakan bersama dan membentuk organisasi.
- Interaksi simbolik mencangkup pernafsiran tindakan. Interaksi non simbolik hanyalah mencangkup stimulus respon yang sederhana.
PELAPISAN SOSIAL /STRATIFIKASI SOSIAL
Pelapisan sosial adalah perbedaan tinggi rendah kedudukan
seseorang/sekelompok orang dibandingkan dengan sseseorang atau
sekelompok orang lain dalam masyarakat. Pelapisan sosial dapat terjadi
karena pengaruh berbagai kriteria, antara lain ekonomi, politik, sosial.
- Sistem Pelapisan Sosial
Menurut status kependudukan asli atau pendatang misalnya di daerah
Jawa dengan adanya cikal bakal yaitu orang yang merintis tinggal
didaerah tersebut dan mempunyi keturunan di daerah tersebut, womg baku
yaitu orang yang mempunyai saudara, tanah, dan lahir di daerah tersebut,
pendatang yaitu orang yang membeli tanah dan membangun didaerah
tersebut. Sedangkan di Sumatra Utara ada yang disebut dengan Sipunta
huta/bangsa taneh yaitu keturunan nenek moyang dan penduduk pendatang.
- Diferensiasi Sosial
Diferensiasi sosial ialah perbedaan sosial dalam masyarakat secara
horisontal. Bentuk diferensiasi sosial yaitu diferensiasi jenis kelamin,
diferensiasi agama, diferensiasi profesi dsb.
Walau Mead menyarankan agar aspek internal juga dikaji untuk bisa
memahami perilaku sosial, namun hal tersebut bukanlah merupakan minat
khususnya. Justru dia lebih tertarik pada interaksi, di mana hubungan di
antara gerak-isyarat (gesture) tertentu dan maknanya,
mempengaruhi pikiran pihak-pihak yang sedang berinteraksi. Dalam
terminologi Mead, gerak-isyarat yang maknanya diberi bersama oleh semua
pihak yang terlibat dalam interaksi adalah merupakan “satu bentuk simbol
yang mempunyai arti penting” ( a significant symbol”).
Kata-kata dan suara-lainnya, gerakan-gerakan fisik, bahasa tubuh (body
language), baju, status, kesemuanya merupakan simbol yang
bermakna.
Mead tertarik mengkaji interaksi sosial, di mana dua atau lebih
individu berpotensi mengeluarkan simbol yang bermakna. Perilaku
seseorang dipengaruhi oleh simbol yang dikeluarkan orang lain, demikian
pula perilaku orang lain tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa
simbol, kita mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya
dengan cara membaca simbol yang ditampilkan orang lain, kita menangkap
pikiran, perasaan orang lain tersebut. Teori ini mirip dengan teori
pertukaran sosial.
Interaksi di antara beberapa pihak tersebut akan tetap berjalan
lancar tanpa gangguan apa pun manakala simbol yang dikeluarkan oleh
masing-masing pihak dimaknakan bersama sehingga semua pihak mampu
mengartikannya dengan baik. Hal ini mungkin terjadi karena
individu-individu yang terlibat dalam interaksi tersebut berasal dari
budaya yang sama, atau sebelumnya telah berhasil memecahkan perbedaan
makna di antara mereka. Namun tidak selamanya interaksi berjalan mulus.
Ada pihak-pihak tertentu yang menggunakan simbol yang tidak signifikan –
simbol yang tidak bermakna bagi pihak lain. Akibatnya orang-orang
tersebut harus secara terus menerus mencocokan makna dan merencanakan
cara tindakan mereka.
Banyak kualitas perilaku manusia yang belum pasti dan senantiasa
berkembang : orang-orang membuat peta, menguji, merencanakan, menunda,
dan memperbaiki tindakan-tindakan mereka, dalam upaya menanggapi
tindakan-tindakan pihak lain. Sesuai dengan pandangan ini,
individu-individu menegosiasikan perilakunya agar cocok dengan perilaku
orang lain
Apa itu “Teori Interaksi Simbolik”? Teori interaksi simbolik berinduk
pada perspektif fenomenologis. Istilah fenomenologis, menurut Natanson,
merupakan satu istilah generik yang merujuk pada semua pandangan ilmu
sosial yang menganggap kesadaran manusia dan makna obyektifnya sebagai
titik sentral untuk memperoleh pengertian atas tindakan manusia dalam
sosial masyarakat. Pada tahun 1950-an dan 1960-an perspektif
fenomenologis mengalami kemunduran. Surutnya perspektif fenomenologis
memberi kemungkinan bagi para ilmuwan untuk memunculkan teori baru dalam
bidang ilmu sosial. Kemudian muncullah teori interaksi simbolik yang
segera mendapat tempat utama dan mengalami perkembangan pesat hingga
saat ini. Max Weber adalah orang yang turut berjasa besar dalam
memunculkan teori interaksi simbolik. Beliau pertama kali mendefinisikan
tindakan sosial sebagai sebuah perilaku manusia pada saat person
memberikan suatu makna subyektif terhadap perilaku yang ada. Sebuah
tindakan bermakna sosial manakala tindakan tersebut timbul dan berasal
dari kesadaran subyektif dan mengandung makna intersubyektif. Artinya
terkait dengan orang di luar dirinya. Teori interaksi simbolik
dipengaruhi oleh struktur sosial yang membentuk atau menyebabkan
perilaku tertentu yang kemudian membentuk simbolisasi dalam interaksi
sosial masyarakat. Teori interaksi simbolik menuntut setiap individu
mesti proaktif, refleksif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku
yang unik, rumit dan sulit diinterpretasikan. Teori interaksi simbolik
menekankan dua hal. Pertama, manusia dalam masyarakat tidak pernah lepas
dari interaksi sosial. Kedua ialah bahwa interaksi dalam masyarakat
mewujud dalam simbol-simbol tertentu yang sifatnya cenderung dinamis.
Berinteraksi Melalui Simbol
Pada dasarnya teori interaksi simbolik berakar dan berfokus pada
hakekat manusia yang adalah makhluk relasional. Setiap individu pasti
terlibat relasi dengan sesamanya. Tidaklah mengherankan bila kemudian
teori interaksi simbolik segera mengedepan bila dibandingkan dengan
teori-teori sosial lainnya. Alasannya ialah diri manusia muncul dalam
dan melalui interaksi dengan yang di luar dirinya. Interaksi itu sendiri
membutuhkan simbol-simbol tertentu. Simbol itu biasanya disepakati
bersama dalam skala kecil pun skala besar. Simbol-misalnya bahasa,
tulisan dan simbol lainnya yang dipakai-bersifat dinamis dan unik.
Keunikan dan dinamika simbol dalam proses interaksi sosial menuntut
manusia harus lebih kritis, peka, aktif dan kreatif dalam
menginterpretasikan simbol-simbol yang muncul dalam interaksi sosial.
Penafsiran yang tepat atas simbol tersebut turut menentukan arah
perkembangan manusia dan lingkungan. Sebaliknya, penafsiran yang keliru
atas simbol dapat menjadi petaka bagi hidup manusia dan lingkungannya.
Interaksionisme Simbolik
Ada banyak teori dan perspektif dalam sosiologi yang dapat digunakan
untuk menganalisis masyarakat. Ada yang menggunakan perspektif
evolusionisme, fungsionalisme, interaksionisme simbolik, teori konflik,
teori sistem, dsb. Semua pendekatan-pendekatan ini masing-masing
memiliki karakteristik, tujuan dan manfaat yang berbeda-beda. Perspektif
teori Interaksionisme Simbolik merupakan salah satu pendekatan atau
paradigma yang dapat digunakan apabila kita ingin meneliti mengenai
fenomena-fenomena Sosiologi.
Teori ini dikembangkan oleh kelompok The Chicago School dengan tokoh
penggagas George H. Mead dan tokoh pengikutnya yaitu Herbert Blummer.
George H. Mead adalah seorang psikolog sosial Amerika di akhir abad
kesembilan belas dan filsuf yang dipengaruhi oleh konsep tokoh Adam
Smith mengenai “ penonton yang tidak memihak “. Ditangan Mead, penonton
Smith menjadi “ orang lain yang digeneralisasikan “ ( generalized other
), istilah yang dipakainya untuk bagian “ kedirian “ ( self ) yang
merupakan sebuah internalisasi sikap-sikap orang-orang lain terhadap
diri kita sendiri dan peran-peran kita. Kata “ Interaksionisme Simbolis “
sendiri diciptakan oleh seorang murid Mead yaitu Herbert Blummer, pada
tahun 1937. Kata interaksionalisme simbolik itu dimaksudkan untuk
mencakup pemahaman timbal-balik dan penafsiran isyarat-isyarat dan
percakapan merupakan kunci bagi masyarakat manusia ( Campbell : 253 ).
Selain Mead dan Blummer, tokoh lain yang juga memberikan kontribusi
intelektualnya adalah Charles Horton Cooley.
Teori interaksionisme simbolik ini akan mengarahkan perhatian kita
pada konsep mengenai “ interaksi “, baik interaksi dengan diri sendiri (
self-interaction ) maupun interaksi antar individu. Berikut adalah
penjelasan mengenai teori Interaksionisme Simbolik yang dikemukakan oleh
masing-masing tokoh.
A.1. Interaksi Simbolik oleh George Herbert Mead ( 1863 – 1931 )
Mead memberikan kontribusi besar dalam mengemukakan pandangannya
mengenai pemikiran ( mind ), kedirian ( self ) dan masyarakat ( society
).
Menurut Mead, ada beberapa aspek perilaku dan interaksi manusia yang secara langsung tidak dijembatani oleh pemikiran. Contohnya manusia secara refleks dapat mengepalkan tangannya ketika ia sedang marah. Hal inilah yang sering kita maksud dengan “ bahasa “ atau komunikasi melalui simbol-simbol atau isyarat makna. Isyarat-isyarat dalam bentuk inilah yang akan membawa pada suatu tindakan dan respon yang dipahami oleh kelompok-kelompok, komunitas dan masyarakat yang ada. Tepatnya melalui isyarat-isyarat dan simbol-simbol inilah maka akan terjadi pemikiran; yakni yang disebut dengan “ mind “.
Sementara “ Kedirian “ ( self ) dapat bersifat sebagai obyek maupun subyek; ia merupakan obyek bagi dirinya sendiri. Seseorang yang sudah dewasa telah memiliki “ kediriannya sendiri “ sebagai teman kemanusiaannya dan berbicara dengan dirinya sendiri sebagaimana ia memperlakukan terhadap orang lain ( Zeitlin : 339-348 ).
Menurut Mead, ada beberapa aspek perilaku dan interaksi manusia yang secara langsung tidak dijembatani oleh pemikiran. Contohnya manusia secara refleks dapat mengepalkan tangannya ketika ia sedang marah. Hal inilah yang sering kita maksud dengan “ bahasa “ atau komunikasi melalui simbol-simbol atau isyarat makna. Isyarat-isyarat dalam bentuk inilah yang akan membawa pada suatu tindakan dan respon yang dipahami oleh kelompok-kelompok, komunitas dan masyarakat yang ada. Tepatnya melalui isyarat-isyarat dan simbol-simbol inilah maka akan terjadi pemikiran; yakni yang disebut dengan “ mind “.
Sementara “ Kedirian “ ( self ) dapat bersifat sebagai obyek maupun subyek; ia merupakan obyek bagi dirinya sendiri. Seseorang yang sudah dewasa telah memiliki “ kediriannya sendiri “ sebagai teman kemanusiaannya dan berbicara dengan dirinya sendiri sebagaimana ia memperlakukan terhadap orang lain ( Zeitlin : 339-348 ).
Untuk memperjelas konsep mengani “ Kedirian “ atau self, Mead
kemudian juga mengemukakan konsep mengenai “ I “ dan “ Me “ ( Henslin :
69 ).
“ I ” adalah diri sebagai subyek, bagian diri yang aktif, spontan dan kreatif. Sebaliknya, “ Me “ merupakan diri sebagai obyek. “ Me “ terdiri atas sikap yang telah kita internalisasi dari interaksi kita dengan orang lain. Mead memilih kata ganti tersebut karena dalam bahasa inggris “ I “ merupakan agen yang aktif, seperti dalam kalimat “ Aku mendorongnya “ ( I shoved him ), sedangkan “ Me “ merupakan obyek tindakan, seperti dalam kalimat “ Ia mendorongku “ ( He shoved me ). Mead menekankan bahwa dalam proses sosialisasi, kita tidak pasif, kita tidak seperti robot yang secara pasif menyerap tanggapan orang lain. Dan sebaliknya, “ I “ dalam diri kita bersifat aktif. “ I “ mengevaluasi reaksi orang lain dan mengorganisasikannya dalam suatu kesatuan yang menyeluruh.
“ I ” adalah diri sebagai subyek, bagian diri yang aktif, spontan dan kreatif. Sebaliknya, “ Me “ merupakan diri sebagai obyek. “ Me “ terdiri atas sikap yang telah kita internalisasi dari interaksi kita dengan orang lain. Mead memilih kata ganti tersebut karena dalam bahasa inggris “ I “ merupakan agen yang aktif, seperti dalam kalimat “ Aku mendorongnya “ ( I shoved him ), sedangkan “ Me “ merupakan obyek tindakan, seperti dalam kalimat “ Ia mendorongku “ ( He shoved me ). Mead menekankan bahwa dalam proses sosialisasi, kita tidak pasif, kita tidak seperti robot yang secara pasif menyerap tanggapan orang lain. Dan sebaliknya, “ I “ dalam diri kita bersifat aktif. “ I “ mengevaluasi reaksi orang lain dan mengorganisasikannya dalam suatu kesatuan yang menyeluruh.
Averroes Community
Membangun Wacana Kritis Rakyat
Membangun Wacana Kritis Rakyat
Oleh Prof Dr. Riyadi Soeprapto, MS (Alm).
Inti pandangan pendekatan ini adalah individu. Para ahli di belakang
perspektif ini mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling
penting dalam konsep sosiologi. Mereka melihat bahwa individu adalah
obyek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui
interaksinya dengan individu yang lain.
Dalam perspektif ini dikenal nama sosiolog George Herbert Mead
(1863–1931), Charles Horton Cooley (1846–1929), yang memusatkan
perhatiannya pada interaksi antara individu dan kelompok. Mereka
menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan
menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda,
isyarat dan kata-kata. Sosiolog interaksionisme simbolik kontemporer
lainnya adalah Herbert Blumer (1962) dan Erving Goffman (1959).
Seperti yang dikatakan Francis Abraham dalam Modern Sociological
Theory (1982)[1],
bahwa interaksionisme simbolik pada hakikatnya merupakan sebuah
perspektif yang bersifat sosial-psikologis yang terutama relevan untuk
penyelidikan sosiologis. Teori ini akan berurusan dengan
struktur-struktur sosial, bentuk-bentuk kongkret dari perilaku
individual atau sifat-sifat batin yang bersifat dugaan, interaksionisme
simbolik memfokuskan diri pada hakekat interaksi, pada pola-pola dinamis
dari tindakan sosial dan hubungan sosial. Interaksi sendiri dianggap
sebagai unit analisis: sementara sikap-sikap diletakkan menjadi latar
belakang. Baik manusia dan struktur sosial dikonseptualisasikan secara
lebih kompleks, lebih tak terduga, dan aktif jika dibandingkan dengan
perspektif-perspektif sosiologis yang konvensional.Di sisi ini
masyarakat tersusun dari individu-individu yang berinteraksi yang tidak
hanya bereaksi, namun juga menangkap, menginterpretasi, bertindak, dan
mencipta. Individu bukanlah sekelompok sifat, namun merupakan seorang
aktor yang dinamis dan berubah, yang selalu berada dalam proses menjadi
dan tak pernah selesai terbentuk sepenuhnya. Masyarakat bukanlah sesuatu
yang statis “di luar sana” yang selalu mempengaruhi dan membentuk diri
kita, namun pada hakekatnya merupakan sebuah proses interaksi. Individu
bukan hanya memiliki pikiran (mind), namun juga diri (self)
yang bukan sebuah entitas psikologis, namun sebuah aspek dari proses
sosial yang muncul dalam proses pengalaman dan aktivitas sosial. Selain
itu, keseluruhan proses interaksi tersebut bersifat simbolik, di mana
makna-makna dibentuk oleh akal budi manusia. Makna-makna itu kita bagi
bersama yang lain, definisi kita mengenai dunia sosial dan persepsi kita
mengenai, dan respon kita terhadap, realitas muncul dalam proses
interaksi.[2]
Herbert Blumer, sebagaimana dikutip oleh Abraham (1982)[3]
salah satu arsitek utama dari interaksionisme simbolik menyatakan:
Istilah ‘interaksi simbolik’ tentu saja menunjuk pada sifat khusus dan
khas dari interaksi yang berlangsung antar manusia. Kekhususan itu
terutama dalam fakta bahwa manusia menginterpretasikan atau
‘mendefinsikan’ tindakan satu sama lain dan tidak semata-mata bereaksi
atas tindakan satu sama lain. Jadi, interaksi manusia dimediasi oleh
penggunaan simbol-simbol, oleh interpretasi, atau oleh penetapan makna
dari tindakan orang lain. Mediasi ini ekuivalen dengan pelibatan proses
interpretasi antara stimulus dan respon dalam kasus perilaku
manusia.Pendekatan interaksionisme simbolik memberikan banyak penekanan
pada individu yang aktif dan kreatif ketimbang pendekatan-pendekatan
teoritis lainnya. Pendekatan interaksionisme simbolik berkembang dari
sebuah perhatian ke arah dengan bahasa; namun Mead mengembangkan hal itu
dalam arah yang berbeda dan cukup unik. Pendekatan interaksionisme
simbolik menganggap bahwa segala sesuatu tersebut adalah virtual. Semua
interaksi antarindividu manusia melibatkan suatu pertukaran simbol.
Ketika kita berinteraksi dengan yang lainnya, kita secara konstan
mencari “petunjuk” mengenai tipe perilaku apakah yang cocok dalam
konteks itu dan mengenai bagaimana menginterpretasikan apa yang
dimaksudkan oleh orang lain. Interaksionisme simbolik mengarahkan
perhatian kita pada interaksi antarindividu, dan bagaimana hal ini bisa
dipergunakan untuk mengerti apa yang orang lain katakan dan lakukan
kepada kita sebagai individu.[4]
Gagasan Teori Interaksionisme SimbolikIstilah paham interaksi
menjadi sebuah label untuk sebuah pendekatan yang relatif khusus pada
ilmu dari kehidupan kelompok manusia dan tingkah laku manusia. Banyak
ilmuwan yang telah menggunakan pendekatan tersebut dan memberikan
kontribusi intelektualnya, di antaranya George Herbert Mead, John Dewey,
W.I Thomas, Robert E.Park, William James, Charles Horton Cooley,
Florian Znaniceki, James Mark Baldwin, Robert Redfield dan Louis Wirth.
Teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori
sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the self) dan
dunia luarnya. Di sini Cooley menyebutnya sebagai looking glass
self. Dengan mengetahui interaksionisme simbolik sebagai teori maka
kita akan bisa memahami fenomena sosial lebih luas melalui pencermatan
individu. Ada tiga premis utama dalam teori interaksionisme simbolis
ini, yakni manusia bertindak berdasarkan makna-makna; makna tersebut
didapatkan dari interaksi dengan orang lain; makna tersebut berkembang
dan disempurnakan saat interaksi tersebut berlangsung.Menurut KJ Veeger[5]
yang mengutip pendapat Herbert Blumer, teori interaksionisme simbolik
memiliki beberapa gagasan. Di antaranya adalah mengenai Konsep Diri.
Di sini dikatakan bahwa manusia bukanlah satu-satunya yang bergerak di
bawah pengaruh perangsang entah dari luar atau dalam melainkan dari
organisme yang sadar akan dirinya (an organism having self).
Kemudian gagasan Konsep Perbuatan di mana perbuatan manusia
dibentuk dalam dan melalui proses interaksi dengan dirinya sendiri. Dan
perbuatan ini sama sekali berlainan dengan perbuatan-perbuatan lain yang
bukan makhluk manusia. Kemudian Konsep Obyek di mana manusia
diniscayakan hidup di tengah-tengah obyek yang ada, yakni
manusia-manusia lainnya. Selanjutnya Konsep Interaksi Sosial di
mana di sini proses pengambilan peran sangatlah penting. Yang terakhir
adalah Konsep Joint Action di mana di sini aksi kolektif yang
lahir atas perbuatan-perbuatan masing-masing individu yang disesuaikan
satu sama lain.Menurut Soeprapto (2001),[6]
hanya sedikit ahli yang menilai bahwa ada yang salah dalam dasar
pemikiran yang pertama. “Arti” (mean) dianggap sudah semestinya
begitu, sehingga tersisih dan dianggap tidak penting. “Arti” dianggap
sebagai sebuah interaksi netral antara faktor-faktor yang
bertanggungjawab pada tingkah laku manusia, sedangkan ‘tingkah laku’
adalah hasil dari beberapa faktor. Kita bisa melihatnya dalam ilmu
psikologi sosial saat ini. Posisi teori interaksionisme simbolis adalah
sebaliknya, bahwa arti yang dimiliki benda-benda untuk manusia adalah
berpusat dalam kebenaran manusia itu sendiri. Dari sini kita bisa
membedakan teori interaksionisme simbolis dengan teori-teori lainnya,
yakni secara jelas melihat arti dasar pemikiran kedua yang mengacu pada
sumber dari arti tersebut.Teori interaksionisme simbolis memandang bahwa
“arti” muncul dari proses interaksi sosial yang telah dilakukan. Arti
dari sebuah benda untuk seseorang tumbuh dari cara-cara di mana orang
lain bersikap terhadap orang tersebut. Sehingga interaksi simbolis
memandang “arti” sebagai produk sosial; Sebagai kreasi-kreasi yang
terbentuk melalui aktifitas yang terdefinisi dari individu saat mereka
berinteraksi. Pandangan ini meletakkan teori interaksionisme simbolis
pada posisi yang sangat jelas, dengan implikasi yang cukup dalam.
Tokoh-tokoh Teori Interaksionisme SimbolikMengikuti penjelasan
Abraham (1982)[7],
Charles Horton Cooley adalah tokoh yang amat penting dalam teori ini.
Pemikiran sosial Cooley terdiri atas dua asumsi yang mendalam dan abadi
mengenai hakikat dari kehidupan sosial, yaitu bahwa kehidupan sosial
secara fundamental merupakan sebuah evolusi organik, dan bahwa
masyarakat itu secara ideal bersifat demokratis, moral, dan progresif.
Konsep evolusi organik-nya Cooley berbeda secara hakiki dari konsepnya
Spencer dan para ilmuwan sosial abad kesembilanbelas. Sementara para
pemikir yang lebih awal memusatkan diri pada aspek-aspek kolektif yang
berskala-besar dari pembangunan, dari perjuangan kelas, dari lembaga
sosial dan sebagainya, di sini Cooley berusaha mendapatkan sebuah
pemehaman yang lebih mendalam mengenai individu namun bukan sebagai
entitas yang terpisah dari masyarakat, namun sebagai sebuah bagian
psiko-sosial dan historis dari bahan-bahan penyusun masyarakat.
“Kehidupan kita adalah satu satu kehidupan manusia secara keseluruhan,”
kata Cooley, “dan jika kita ingin memiliki pengetahuan yang riil atas
diri individu, maka kita harus memandang individu secara demikian. Jika
kita melihatnya secara terpisah, maka proses pengetahuan kita atas diri
individu akan gagal.”Jadi, evolusi organik adalah interplay
yang kreatif baik individu maupun masyarakat sebagai dua wujud dari satu
fenomena yang sama, yang saling menegaskan dan beriringan meski tetap
masih bisa dibedakan. ”Masyarakat adalah sebuah proses saling
berjalinnya dan saling bekerjanya diri-diri yang bersifat mental (mental
selves). Saya membayangkan apa yang Anda pikirkan, terutama
mengenai apa yang Anda pikirkan tentang apa yang saya pikirkan, terutama
mengenai apa yang saya pikirkan tentang apa yang Anda pikirkan.”Jadi,
menurut Cooley, tugas fundamental dari sosiologi ialah untuk memahami
sifat organis dari masyarakat sebagaimana dia berlangsung melalui
persepsi-persepsi individual dari orang lain dan dari diri mereka
sendiri. Jika sosiologi hendak memahami masyarakat, dia harus
mengkonsentrasikan perhatiannya pada aktivitas-aktivitas mental dari
individu-individu yang menyusun masyarakat tersebut. “Imajinasi yang
saling dimiliki oleh orang-orang merupakan fakta-fakta yang solid dari
masyarakat… Masyarakat adalah sebuah relasi di antara ide-ide yang
bersifat personal.”Dalam konsep The Looking-Glass Self (Diri Yang
Seperti Cermin Pantul), menurut Cooley, institusi-institusi sosial
yang utama ialah bahasa, keluarga, industri, pendidikan, agama, dan
hukum. Sementara institusi-institusi tersebut membentuk ‘fakta-fakta
dari masyarakat’ yang bisa dipelajari oleh studi sosiologis, mereka juga
merupakan produk-produk yang ditentukan dan dibangun oleh pikiran
publik. Menurut Cooley, institusi-institusi tersebut merupakan hasil
dari organisasi dan kristalisasi dari pikiran yang membentuk
bentuk-bentuk adat-adat kebiasaan, simbol-simbol,
kepercayaan-kepercayaan, dan sentimen-sentimen perasaan yang tahan
lama.Oleh karena itu, institusi-institusi tersebut merupakan
kreasi-kreasi mental dari individu-individu dan dipelihara melalui
kebiasaan-kebiasaan manusiawi dari pikiran yang hampir selalu dilakukan
secara tidak sadar karena sifat kedekatannya dengan diri kita (familiarity).
Seperti yang ditegaskan oleh Cooley, ketika institusi-institusi
masyarakat dipahami terutama sebagai kreasi-kreasi mental, maka individu
bukanlah semata-mata ‘efek’ dari struktur sosial, namun juga merupakan
seorang kreator dan pemelihara struktur sosial tersebut.Intinya, Cooley
mengkonsentrasikan kemampuan-kemampuan analitiknya terhadap perkembangan
dari diktum fundamentalnya, yaitu “Imajinasi-imajinasi yang saling
dimiliki oleh orang-orang merupakan fakta-fakta yang solid dari
masyarakat.” Dalam bukunya yang pertama, Human Nature and the Social
Order, dia terfokus pada teori mengenai diri-yang-bersifat-sosial
(social-self), yakni makna “Aku” sebagaimana yang teramati dalam pikiran
dan perbincangan sehari-hari.Cuplikan dari buku karangan Riyadi
Soeprapto. 2001. Interaksionisme Simbolik Perspektif Sosiologi Modern.
Yogyakarta: Averroes Press dan Pustaka Pelajar.
Teori Interaksionisme Simbolik
Para ahli perspektif interaksionisme simbolik melihat bahwa individu
adalah obyek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui
interaksinya dengan individu yang lain. Mereka menemukan bahwa
individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan
simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan
kata-kata. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang digunakan untuk
menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang.
Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek
yang disepakati bersama (Mulyana, 2001:84).
Interaksi simbolik, menurut Herbert Blumer, merujuk pada … “karakter
interaksi khusus yang berlangsung antar manusia.” Aktor tidak
semata-mata bereaksi terhadap tindakan yang lain tetapi dia menafsirkan
dan mendefinisikan setiap tindakan orang lain. Respon aktor baik secara
langsung maupun tidak langsung, selalu didasarkan atas makna penilaian
tersebut. Oleh karenanya, interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan
simbol-simbol penafsiran atau dengan menemukan makna tindakan orang
lain. Dalam konteks itu, menurut Blumer, aktor akan memilih, memeriksa,
berpikir, mengelompokan, dan mentransformasikan makna dalam kaitannya
dengan situasi di mana dan ke arah mana tindakannya.
Teori interaksionisme simbolik sangat menekankan arti pentingnya
“proses mental” atau proses berpikir bagi manusia sebelum mereka
bertindak. Tindakan manusia itu sama sekali bukan stimulus – respon,
melainkan stimulus – proses berpikir – respons. Jadi, terdapat
variabel antara atau variabel yang menjembatani antara stimulus dengan
respon, yaitu proses mental atau proses berpikir, yang tidak lain adalah
interpretasi. Teori interaksionisme simbolik memandang bahwa arti/makna
muncul dari proses interaksi sosial yang telah dilakukan. Arti dari
sebuah benda tumbuh dari cara-cara dimana orang lain bersikap terhadap
orang tersebut.
Teori interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang
merupakan kegiatan sosial dinamis sosial manusia. Bagi perspektif ini,
individu bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan
perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Paham ini menolak gagasan
bahwa individu adalah organisme pasif yang perilakunya ditentukan oleh
kekuatan-kekuatan struktur yang ada di luar dirinya. Interaksilah yang
dianggap variabel penting yang menentukan perilaku manusia, bukan
struktur masyarakat.
Esensi interaksionisme simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan
ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi
makna. Perspektif ini berupaya untuk memahami perilaku manusia dari
sudut pandang subjek. Teori ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus
dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur
perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang
menjadi mitra interaksi mereka. Manusia bertindak hanya berdasarkan
definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di sekeliling mereka.
Dalam pandangan perspektif ini, sebagaimana ditegaskan Blumer, proses
sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegakan
aturan-aturan, bukan aturan-aturan yang menciptakan dan menegakan
kehidupan kelompok.
Menurut teoritisi perspektif ini, kehidupan sosial adalah “interaksi
manusia dengan menggunakan simbol-simbol.” Penganut interaksionisme
simbolik berpandangan, perilaku manusia adalah produk dari interpretasi
mereka atas dunia di sekeliling mereka, jadi tidak mengakui bahwa
perilaku itu dipelajari atau ditentukan, sebagaimana dianut teori
behavioristik atau teori struktural.
Di dalam bukunya yang amat terkenal, yaitu ”Symbolic
Interactionism; Perspective, and Method,” Herbert Blumer menegaskan
bahwa ada tiga asumsi yang mendasari tindakan manusia (dalam Sutaryo,
2005). Tiga asumsi tersebut adalah sebagai berikut:
1)Human being act toward things on the basic of the meaning that
the things have for them;
2)The meaning of the things arises out of the social interaction
one with one’s fellow;
3)The meaning of things are handled in and modified through an
interpretative process used by the person in dealing with the thing he
encounters.
Premis pertama sampai ketiga itu mempunyai pengertian seperti
ini.Pertama, bahwa manusia itu bertindak terhadap sesuatu (apakah itu
benda, kejadian, maupun fenomena tertentu) atas makna yang dimiliki oleh
benda, kejadian, atau fenomena itu bagi mereka. Individu merespon suatu
situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik
(benda) dan objek sosial (perilaku manusia) berdasarkan makna yang
dikandung komponen tersebut bagi mereka.
Kedua, makna tadi diberikan oleh manusia sebagai hasil interaksi
dengan sesamanya. Jadi, makna tadi tidak inherent, tidak
terlekat pada benda ataupun fenomenanya itu sendiri, melainkan
tergantung pada orang-orang yang terlibat dalam interaksi itu. Makna
dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Negosiasi itu dimungkinkan
karena manusia mampu menamai segala sesuatu, bukan hanya objek fisik,
tindakan, atau peristiwa (bahkan tanpa kehadiran objek fisik, tindakan,
atau peristiwa itu) namun juga gagasan yang abstrak. Akan tetapi, nama
atau simbol yang digunakan untuk menandai objek, tindakan, peristiwa,
atau gagasan itu bersifat arbitrer (sembarang). Melalui penggunaan
simbol itulah manusia dapat berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang
dunia.
Ketiga, makna tadi ditangani dan dimodifikasi melalui proses
interpretasi dalam rangka menghadapi fenomena tertentu lainnya. Makna
yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu,
sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial.
Perubahan interpretasi dimungkinkan karena individu dapat melakukan
proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya sendiri.
Menurut Ritzer, kesimpulan utama yang perlu diambil dari substansi
teori interaksionisme simbolik adalah sebagai berikut. Kehidupan
bermasyarakat itu terbentuk melalui proses komunikasi dan interaksi
antarindividu dan antarkelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang
dipahami maknanya melalui proses belajar. Tindakan seseorang dalam
proses interaksi itu bukan semata-mata merupakan suatu tanggapan yang
bersifat langsung terhadap stimulus yang datang dari lingkungannya atau
dari luar dirinya, melainkan dari hasil sebuah proses interpretasi
terhadap stimulus. Jadi jelas, bahwa hal ini merupakan hasil proses
belajar, dalam arti memahami simbol-simbol, dan saling menyesuaikan
makna dari simbol-simbol tersebut. Meskipun norma-norma, nilai-nilai
sosial dan makna dari simbol-simbol itu memberikan pembatasan terhadap
tindakannya, namun dengan kemampuan berpikir yang dimilikinya, manusia
mempunyai kebebasan untuk menentukan tindakan dan tujuan-tujuan yang
hendak dicapainya. Singkatnya, bahwa symbolic interactionist (para
pengikut teori interaksionisme simbolik) memberi dasar penalaran bahwa,
there is a ‘minding’process that interveness between stimulus and
response. It is this mental process, and not simply the stimulus, that
determines how a man will react (Ritzer, 1980:194, dalam Sutaryo,
2005).
Tokoh-tokoh yang mengembangkan teori pertukaran sosial antara lain
adalah psikolog John Thibaut dan Harlod Kelley (1959), sosiolog George
Homans (1961), Richard Emerson (1962), dan Peter Blau (1964).
Teori ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi
dagang. Orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu
yang memenuhi kebutuhannya. Thibaut dan Kelley, pemuka utama dari teori
ini menyimpulkan teori ini sebagai berikut: “Asumsi dasar yang
mendasari seluruh analisis kami adalah bahwa setiap individu secara
sukarela memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial hanya selama
hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari segi ganjaran dan
biaya”. Berdasarkan teori ini, kita masuk ke dalam hubungan
pertukaran dengan orang lain karena dari padanya kita memperoleh
imbalan. Dengan kata lain hubungan pertukaran dengan orang lain akan
menghasilkan suatu imbalan bagi kita. Teori pertukaran sosial pun
melihat antara perilaku dengan lingkungan terdapat hubungan yang saling
mempengaruhi (reciprocal). Karena lingkungan kita umumnya
terdiri atas orang-orang lain, maka kita dan orang-orang lain tersebut
dipandang mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi Dalam hubungan
tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost)
dan keuntungan (profit). Imbalan merupakan segala hal yang
diperloleh melalui adanya pengorbanan, pengorbanan merupakan semua hal
yang dihindarkan, dan keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh
pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit
antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya,
pola-pola perilaku di tempat kerja, percintaan, perkawinan,
persahabatan – hanya akan langgeng manakala kalau semua pihak yang
terlibat merasa teruntungkan. Jadi perilaku seseorang dimunculkan karena
berdasarkan perhitungannya, akan menguntungkan bagi dirinya, demikian
pula sebaliknya jika merugikan maka perilaku tersebut tidak ditampilkan.
Empat Konsep pokokGanjaran, biaya, laba, dan tingkat
perbandingan merupakan empat konsep pokok dalam teori ini.
- Ganjaran ialah setiap akibat yang dinilai positif yang diperoleh seseorang dari suatu hubungan. Ganjaran berupa uang, penerimaan sosial atau dukungan terhadap nilai yang dipegangnya. Nilai suatu ganjaran berbeda-beda antara seseorang dengan yang lain, dan berlainan antara waktu yang satu dengan waktu yang lain. Buat orang kaya mungkin penerimaan sosial lebih berharga daripada uang. Buat si miskin, hubungan interpersonal yang dapat mengatasi kesulitan ekonominya lebih memberikan ganjaran daripada hubungan yang menambah pengetahuan.
- Biaya adalah akibat yang dinilai negatif yang terjadi dalam suatu hubungan. Biaya itu dapat berupa waktu, usaha, konflik, kecemasan, dan keruntuhan harga diri dan kondisi-kondisi lain yang dapat menghabiskan sumber kekayaan individu atau dapat menimbulkan efek-efek yang tidak menyenangkan. Seperti ganjaran, biaya pun berubah-ubah sesuai dengan waktu dan orang yang terlibat di dalamnya.
- Hasil atau laba adalah ganjaran dikurangi biaya. Bila seorang individu merasa, dalam suatu hubungan interpersonal, bahwa ia tidak memperoleh laba sama sekali, ia akan mencari hubungan lain yang mendatangkan laba. Misalnya, Anda mempunyai kawan yang pelit dan bodoh. Anda banyak membantunya, tetapi hanya sekedar supaya persahabatan dengan dia tidak putus. Bantuan Anda (biaya) ternyata lebih besar daripada nilai persahabatan (ganjaran) yang Anda terima. Anda rugi. Menurut teori pertukaran sosial, hubungan anda dengan sahabat pelit itu mudah sekali retak dan digantikan dengan hubungan baru dengan orang lain.
- Tingkat perbandingan menunjukkan ukuran baku (standar) yang dipakai sebagai kriteria dalam menilai hubungan individu pada waktu sekarang. Ukuran baku ini dapat berupa pengalaman individu pada masa lalu atau alternatif hubungan lain yang terbuka baginya. Bila pada masa lalu, seorang individu mengalami hubungan interpersonal yang memuaskan, tingkat perbandingannya turun. Bila seorang gadis pernah berhubungan dengan kawan pria dalam hubungan yang bahagia, ia akan mengukur hubungan interpersonalnya dengan kawan pria lain berdasarkan pengalamannya dengan kawan pria terdahulu. Makin bahagia ia pada hubungan interpersonal sebelumnya, makin tinggi tingkat perbandingannya, berarti makin sukar ia memperoleh hubungan interpersonal yang memuaskan.
Homans dalam bukunya “Elementary Forms of Social Behavior,
1974 mengeluarkan beberapa proposisi dan salah satunya berbunyi :”Semua
tindakan yang dilakukan oleh seseorang, makin sering satu bentuk
tindakan tertentu memperoleh imbalan, makin cenderung
orang tersebut menampilkan tindakan tertentu tadi “. Proposisi ini
secara eksplisit menjelaskan bahwa satu tindakan tertentu akan berulang
dilakukan jika ada imbalannya. Proposisi lain yang juga
memperkuat proposisi tersebut berbunyi : “Makin tinggi nilai
hasil suatu perbuatan bagi seseorang, makin besar pula
kemungkinan perbuatan tersebut diulanginya kembali”. Bagi Homans,
prinsip dasar pertukaran sosial adalah “distributive justice” –
aturan yang mengatakan bahwa sebuah imbalan harus sebanding dengan
investasi. Proposisi yang terkenal sehubungan dengan prinsip tersebut
berbunyi ” seseorang dalam hubungan pertukaran dengan orang lain
akan mengharapkan imbalan yang diterima oleh setiap
pihak sebanding dengan pengorbanan
yang telah dikeluarkannya – makin tingghi pengorbanan, makin tinggi
imbalannya – dan keuntungan yang diterima oleh setiap
pihak harus sebanding dengan investasinya
– makin tinggi investasi, makin tinggi keuntungan”. Inti dari
teori pembelajaran sosial dan pertukaran sosial adalah perilaku sosial
seseorang hanya bisa dijelaskan oleh sesuatu yang bisa diamati, bukan
oleh proses mentalistik (black-box). Semua teori yang
dipengaruhi oleh perspektif ini menekankan hubungan langsung antara
perilaku yang teramati dengan lingkungan.
Pendekatan ObyektifTeori Pertukaran sosial ada di pendekatan objektif. Pendekatan ini disebut “obyektif” berdasarkan pandangan bahwa objek-objek, perilaku-perilaku dan peristiwa-peristiwa eksis di suatu dunia yang dapat diamati oleh pancaindra (penglihatan, pendengaran, peraba, perasa, dan pembau), dapat diukur dan diramalkan.
Pendekatan ObyektifTeori Pertukaran sosial ada di pendekatan objektif. Pendekatan ini disebut “obyektif” berdasarkan pandangan bahwa objek-objek, perilaku-perilaku dan peristiwa-peristiwa eksis di suatu dunia yang dapat diamati oleh pancaindra (penglihatan, pendengaran, peraba, perasa, dan pembau), dapat diukur dan diramalkan.
Teori Pertukaran sosial beranggapan orang berhubungan dengan orang
lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Pada
pendekatan obyektif cenderung menganggap manusia yang mereka amati
sebagai pasif dan perubahannya disebabkan kekuatan-kekuatan sosial di
luar diri mereka. Pendekatan ini juga berpendapat, hingga derajat
tertentu perilaku manusia dapat diramalkan, meskipun ramalan tersebut
tidak setepat ramalan perilaku alam. Dengan kata lain, hukum-hukum yang
berlaku pada perilaku manusia bersifat mungkin (probabilistik).
Misalnya, kalau mahasiswa lebih rajin belajar, mereka (mungkin) akan
mendapatkan nilai lebih baik; kalau kita ramah kepada orang lain, orang
lain (mungkin) akan ramah kepada kita; bila suami isteri sering
bertengkar, mereka (mungkin) akan bercerai.
Sumber:
Modul 4 & Modul 6 Teori Komunikasi Farid Hamid M Si
Perspektif dalam Psikologi Sosial Hasan Mustafa
Teori Pertukaran Sosial dari Thibault dan Kelley ini menganggap
bahwa bentuk dasar dari hubungan sosial adalah sebagai suatu transaksi
dagang, dimana orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan
sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya. Pada perkembangan selanjutnya,
berbagai pendekatan dalam teori pertukaran sosial semakin fokus pada
bagaimana kekuatan hubungan antar pribadi mampu membentuk suatu hubungan
interaksi dan menghasilkan suatu usaha, untuk mencapai keseimbangan
dalam hubungan tersebut.
Teori pertukaran sosial ini juga digunakan untuk menjelaskan berbagai
penelitian mengenai sikap dan perilaku dalam ekonomi (Theory of
Economic Behavior). Selain itu, teori ini juga digunakan dalam
penelitian komunikasi, misalnya dalam konteks komunikasi interpersonal,
kelompok dan organisasi. Oleh karena itu, teori pertukaran sosial ini,
selain menjelaskan mengenai sikap dalam ekonomi, juga menjelaskan
mengenai hubungan dalam komunikasi.
Thibault dan Kelley menyimpulkan model pertukaran sosial sebagai
berikut, “asumsi dasar yang mendasari seluruh analisis kami adalah
setiap individu secara sukarela memasuki dan tinggal dalam hubungan
sosial hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari segi
ganjaran dan biaya”. Ganjaran, biaya, laba dan tingkat perbandingan
merupakan empat konsep pokok dalam teori ini (Rahmat, 2002: 121).
Empat konsep tersebut antara lain:
1. Ganjaran ialah setiap akibat yang dinilai positif yang
diperoleh seseorang dalam suatu hubungan. Ganjaran berupa uang,
penerimaan sosial atau dukungan terhadap nilai yang dipegangnya. Nilai
suatu ganjaran berbeda beda antara seseorang dengan yang lain, dan
berlainan antara waktu yang satu dengan waktu yang lain.
2. Biaya adalah akibat yang dinilai negatif yang terjadi dalam
suatu hubungan. Biaya itu dapat berupa waktu, usaha, konflik, kecemasan
dan keruntuhan harga diri dan kondisi-kondisi lain yang dapat
menghabiskan sumber kekayaan individu atau dapat menimbulkan efek-efek
yang tidak menyenangkan. Seperti ganjaran, biaya pun berubah-ubah sesuai
dengan waktu dan orang yang terlibat didalamnya.
3. Hasil dan laba adalah ganjaran dikurangi biaya. Bila dalam
suatu hubungan seorang individu merasa bahwa ia tidak memperoleh laba
sama sekali, ia akan mencari hubungan lain yang mendatangkan laba.
4. Tingkat perbandingan menunjukkan ukuran baku (standar) yang
dipakai sebagai kriteria dalam menilai hubungan individu pada masa lalu
atau alternatif hubungan lain yang terbuka baginya. Bila pada masa lalu
seorang individu mengalami hubungan yang memuaskan, tingkat
perbandingannya menurun.
Asumsi-asumsi dasar yang digunakan dalam teori ini adalah:
1. Individu yang terlibat dalan interkasi akan memaksimalkan rewards
2. Individu memiliki akses untuk informasi mengenai sosial,
ekonomi, dan aspek-aspek psikologi dari interkasi yang mengizinkan
mereka untuk mempertimbangkan berbagai alternatif.
3. Individu bersifat rasional dan memperhitungkan kemungkinan
terbaik untuk bersaing dalam situasi menguntungkan.
4. Individu berorientasi pada tujuan dalam system kompetisi
bebas.
5. Pertukaran norma budaya.
0 komentar:
Posting Komentar