Pages

Jumat, 10 Juni 2011

Komunikasi Pembangunan - Interaksi Simbolik

Interaksi Simbolik
Teori ini menyatakan bahwa Interaksi sosial pada hakekatnya adalah Interaksi simbolik. Manusia berinteraksi dengan yang lain dengan cara menyampaikan simbol, yang lain memberi makna atas simbol tersebut.
Stratifikasi Sosial/Pelapisan Sosial
Adalah pembedaan tinggi rendah kedudukan sekelompok orang atau seseorang di bandingkan dengan seseorang atau sekelompok orang dalam masyarakat. Pelapisan Sosial dapat terjadi karena pengaruh berbagai kriteria, antara lain:
  1. Ekonomi (kekayaan)
  2. Politik (Kekuasaan)
  3. Sosial (Martabat)
Pengertian Berfikir
Adalah proses memahami natalitas dalam rangka mengambil kesimpulan dan menghasilkan masalah baru. Cara orang berfikir yaitu dengan menggunakan Austik (melamun, fantasi, berkaca dll) dan dengan realiustik (nalar, sesuai dengan dunia nyata).
Tokoh Interaksi Simbolik
  • George Herbert Mead
  • Herbet Blummer
  • William Jones
  • Charles Horton Cooley
  • John Dewey
Persepsi
Adalah proses memberi makna pada sensasi sehingga memperoleh pengetahuan sesuai dengan yang di inginkan atau dengan kata lain adalah proses memberi makna pada stimuli inderawi.
Adapun faktor personal yang mempengaruhi persepsi adalah :
  1. Perhatian (Attention)
  2. Faktor biologis
  3. Faktor Psikologis
Tokoh teori interaksi simbolik antara lain : George Herbert Mend, Herbert Blumer, Wiliam James, Charles Horton Cooley. Teori interaksi simbolik menyatakan bahwa interaksi sosial adalah interaksi symbol. Manusia berinteraksi dengan yang lain dengan cara menyampaikan simbol yang lain memberi makna atas simbol tersebut.

Asumsi-asumsi:
  1. Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi melalui tindakan bersama dan membentuk organisasi.
  2. Interaksi simbolik mencangkup pernafsiran tindakan. Interaksi non simbolik hanyalah mencangkup stimulus respon yang sederhana.
perspektif interaksi simbolik
berusaha memahami budaya lewat perilaku manusia yang terpantul dalam komunikasi. interaksi simbolik lebih menekankan pada makna “interaksi budaya sebuah komunitas”
makna esensial akan tercermin melalui komunikasi budaya antar warga setempat. pada saat berkomunikasi jelas banyak menampilkan simbol yang bermakna.
TEORI INTERAKSI SIMBOLIK
Tokoh teori interaksi simbolik antara lain : George Herbert Mend, Herbert Blumer, Wiliam James, Charles Horton Cooley. Teori interaksi simbolik menyatakan bahwa interaksi sosial adalah interaksi symbol. Manusia berinteraksi dengan yang lain dengan cara menyampaikan simbol yang lain memberi makna atas simbol tersebut.
Asumsi-asumsi:
  1. Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi melalui tindakan bersama dan membentuk organisasi.
  2. Interaksi simbolik mencangkup pernafsiran tindakan. Interaksi non simbolik hanyalah mencangkup stimulus respon yang sederhana.
PELAPISAN SOSIAL /STRATIFIKASI SOSIAL
Pelapisan sosial adalah perbedaan tinggi rendah kedudukan seseorang/sekelompok orang dibandingkan dengan sseseorang atau sekelompok orang lain dalam masyarakat. Pelapisan sosial dapat terjadi karena pengaruh berbagai kriteria, antara lain ekonomi, politik, sosial.
  1. Sistem Pelapisan Sosial
Menurut status kependudukan asli atau pendatang misalnya di daerah Jawa dengan adanya cikal bakal yaitu orang yang merintis tinggal didaerah tersebut dan mempunyi keturunan di daerah tersebut, womg baku yaitu orang yang mempunyai saudara, tanah, dan lahir di daerah tersebut, pendatang yaitu orang yang membeli tanah dan membangun didaerah tersebut. Sedangkan di Sumatra Utara ada yang disebut dengan Sipunta huta/bangsa taneh yaitu keturunan nenek moyang dan penduduk pendatang.
  1. Diferensiasi Sosial
Diferensiasi sosial ialah perbedaan sosial dalam masyarakat secara horisontal. Bentuk diferensiasi sosial yaitu diferensiasi jenis kelamin, diferensiasi agama, diferensiasi profesi dsb.
Walau Mead menyarankan agar aspek internal juga dikaji untuk bisa memahami perilaku sosial, namun hal tersebut bukanlah merupakan minat khususnya. Justru dia lebih tertarik pada interaksi, di mana hubungan di antara gerak-isyarat (gesture) tertentu dan maknanya, mempengaruhi pikiran pihak-pihak yang sedang berinteraksi. Dalam terminologi Mead, gerak-isyarat yang maknanya diberi bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam interaksi adalah merupakan “satu bentuk simbol yang mempunyai arti penting” ( a significant symbol”). Kata-kata dan suara-lainnya, gerakan-gerakan fisik, bahasa tubuh (body language), baju, status, kesemuanya merupakan simbol yang bermakna.
Mead tertarik mengkaji interaksi sosial, di mana dua atau lebih individu berpotensi mengeluarkan simbol yang bermakna. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang dikeluarkan orang lain, demikian pula perilaku orang lain tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa simbol, kita mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan orang lain, kita menangkap pikiran, perasaan orang lain tersebut. Teori ini mirip dengan teori pertukaran sosial.
Interaksi di antara beberapa pihak tersebut akan tetap berjalan lancar tanpa gangguan apa pun manakala simbol yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak dimaknakan bersama sehingga semua pihak mampu mengartikannya dengan baik. Hal ini mungkin terjadi karena individu-individu yang terlibat dalam interaksi tersebut berasal dari budaya yang sama, atau sebelumnya telah berhasil memecahkan perbedaan makna di antara mereka. Namun tidak selamanya interaksi berjalan mulus. Ada pihak-pihak tertentu yang menggunakan simbol yang tidak signifikan – simbol yang tidak bermakna bagi pihak lain. Akibatnya orang-orang tersebut harus secara terus menerus mencocokan makna dan merencanakan cara tindakan mereka.
Banyak kualitas perilaku manusia yang belum pasti dan senantiasa berkembang : orang-orang membuat peta, menguji, merencanakan, menunda, dan memperbaiki tindakan-tindakan mereka, dalam upaya menanggapi tindakan-tindakan pihak lain. Sesuai dengan pandangan ini, individu-individu menegosiasikan perilakunya agar cocok dengan perilaku orang lain
Apa itu “Teori Interaksi Simbolik”? Teori interaksi simbolik berinduk pada perspektif fenomenologis. Istilah fenomenologis, menurut Natanson, merupakan satu istilah generik yang merujuk pada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap kesadaran manusia dan makna obyektifnya sebagai titik sentral untuk memperoleh pengertian atas tindakan manusia dalam sosial masyarakat. Pada tahun 1950-an dan 1960-an perspektif fenomenologis mengalami kemunduran. Surutnya perspektif fenomenologis memberi kemungkinan bagi para ilmuwan untuk memunculkan teori baru dalam bidang ilmu sosial. Kemudian muncullah teori interaksi simbolik yang segera mendapat tempat utama dan mengalami perkembangan pesat hingga saat ini. Max Weber adalah orang yang turut berjasa besar dalam memunculkan teori interaksi simbolik. Beliau pertama kali mendefinisikan tindakan sosial sebagai sebuah perilaku manusia pada saat person memberikan suatu makna subyektif terhadap perilaku yang ada. Sebuah tindakan bermakna sosial manakala tindakan tersebut timbul dan berasal dari kesadaran subyektif dan mengandung makna intersubyektif. Artinya terkait dengan orang di luar dirinya. Teori interaksi simbolik dipengaruhi oleh struktur sosial yang membentuk atau menyebabkan perilaku tertentu yang kemudian membentuk simbolisasi dalam interaksi sosial masyarakat. Teori interaksi simbolik menuntut setiap individu mesti proaktif, refleksif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang unik, rumit dan sulit diinterpretasikan. Teori interaksi simbolik menekankan dua hal. Pertama, manusia dalam masyarakat tidak pernah lepas dari interaksi sosial. Kedua ialah bahwa interaksi dalam masyarakat mewujud dalam simbol-simbol tertentu yang sifatnya cenderung dinamis.
Berinteraksi Melalui Simbol
Pada dasarnya teori interaksi simbolik berakar dan berfokus pada hakekat manusia yang adalah makhluk relasional. Setiap individu pasti terlibat relasi dengan sesamanya. Tidaklah mengherankan bila kemudian teori interaksi simbolik segera mengedepan bila dibandingkan dengan teori-teori sosial lainnya. Alasannya ialah diri manusia muncul dalam dan melalui interaksi dengan yang di luar dirinya. Interaksi itu sendiri membutuhkan simbol-simbol tertentu. Simbol itu biasanya disepakati bersama dalam skala kecil pun skala besar. Simbol-misalnya bahasa, tulisan dan simbol lainnya yang dipakai-bersifat dinamis dan unik.
Keunikan dan dinamika simbol dalam proses interaksi sosial menuntut manusia harus lebih kritis, peka, aktif dan kreatif dalam menginterpretasikan simbol-simbol yang muncul dalam interaksi sosial. Penafsiran yang tepat atas simbol tersebut turut menentukan arah perkembangan manusia dan lingkungan. Sebaliknya, penafsiran yang keliru atas simbol dapat menjadi petaka bagi hidup manusia dan lingkungannya.
Interaksionisme Simbolik
Ada banyak teori dan perspektif dalam sosiologi yang dapat digunakan untuk menganalisis masyarakat. Ada yang menggunakan perspektif evolusionisme, fungsionalisme, interaksionisme simbolik, teori konflik, teori sistem, dsb. Semua pendekatan-pendekatan ini masing-masing memiliki karakteristik, tujuan dan manfaat yang berbeda-beda. Perspektif teori Interaksionisme Simbolik merupakan salah satu pendekatan atau paradigma yang dapat digunakan apabila kita ingin meneliti mengenai fenomena-fenomena Sosiologi.
Teori ini dikembangkan oleh kelompok The Chicago School dengan tokoh penggagas George H. Mead dan tokoh pengikutnya yaitu Herbert Blummer. George H. Mead adalah seorang psikolog sosial Amerika di akhir abad kesembilan belas dan filsuf yang dipengaruhi oleh konsep tokoh Adam Smith mengenai “ penonton yang tidak memihak “. Ditangan Mead, penonton Smith menjadi “ orang lain yang digeneralisasikan “ ( generalized other ), istilah yang dipakainya untuk bagian “ kedirian “ ( self ) yang merupakan sebuah internalisasi sikap-sikap orang-orang lain terhadap diri kita sendiri dan peran-peran kita. Kata “ Interaksionisme Simbolis “ sendiri diciptakan oleh seorang murid Mead yaitu Herbert Blummer, pada tahun 1937. Kata interaksionalisme simbolik itu dimaksudkan untuk mencakup pemahaman timbal-balik dan penafsiran isyarat-isyarat dan percakapan merupakan kunci bagi masyarakat manusia ( Campbell : 253 ). Selain Mead dan Blummer, tokoh lain yang juga memberikan kontribusi intelektualnya adalah Charles Horton Cooley.
Teori interaksionisme simbolik ini akan mengarahkan perhatian kita pada konsep mengenai “ interaksi “, baik interaksi dengan diri sendiri ( self-interaction ) maupun interaksi antar individu. Berikut adalah penjelasan mengenai teori Interaksionisme Simbolik yang dikemukakan oleh masing-masing tokoh.
A.1. Interaksi Simbolik oleh George Herbert Mead ( 1863 – 1931 )
Mead memberikan kontribusi besar dalam mengemukakan pandangannya mengenai pemikiran ( mind ), kedirian ( self ) dan masyarakat ( society ).
Menurut Mead, ada beberapa aspek perilaku dan interaksi manusia yang secara langsung tidak dijembatani oleh pemikiran. Contohnya manusia secara refleks dapat mengepalkan tangannya ketika ia sedang marah. Hal inilah yang sering kita maksud dengan “ bahasa “ atau komunikasi melalui simbol-simbol atau isyarat makna. Isyarat-isyarat dalam bentuk inilah yang akan membawa pada suatu tindakan dan respon yang dipahami oleh kelompok-kelompok, komunitas dan masyarakat yang ada. Tepatnya melalui isyarat-isyarat dan simbol-simbol inilah maka akan terjadi pemikiran; yakni yang disebut dengan “ mind “.
Sementara “ Kedirian “ ( self ) dapat bersifat sebagai obyek maupun subyek; ia merupakan obyek bagi dirinya sendiri. Seseorang yang sudah dewasa telah memiliki “ kediriannya sendiri “ sebagai teman kemanusiaannya dan berbicara dengan dirinya sendiri sebagaimana ia memperlakukan terhadap orang lain ( Zeitlin : 339-348 ).
Untuk memperjelas konsep mengani “ Kedirian “ atau self, Mead kemudian juga mengemukakan konsep mengenai “ I “ dan “ Me “ ( Henslin : 69 ).
“ I ” adalah diri sebagai subyek, bagian diri yang aktif, spontan dan kreatif. Sebaliknya, “ Me “ merupakan diri sebagai obyek. “ Me “ terdiri atas sikap yang telah kita internalisasi dari interaksi kita dengan orang lain. Mead memilih kata ganti tersebut karena dalam bahasa inggris “ I “ merupakan agen yang aktif, seperti dalam kalimat “ Aku mendorongnya “ ( I shoved him ), sedangkan “ Me “ merupakan obyek tindakan, seperti dalam kalimat “ Ia mendorongku “ ( He shoved me ). Mead menekankan bahwa dalam proses sosialisasi, kita tidak pasif, kita tidak seperti robot yang secara pasif menyerap tanggapan orang lain. Dan sebaliknya, “ I “ dalam diri kita bersifat aktif. “ I “ mengevaluasi reaksi orang lain dan mengorganisasikannya dalam suatu kesatuan yang menyeluruh.
Averroes Community
Membangun Wacana Kritis Rakyat
Oleh Prof Dr. Riyadi Soeprapto, MS (Alm).
Inti pandangan pendekatan ini adalah individu. Para ahli di belakang perspektif ini mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam konsep sosiologi. Mereka melihat bahwa individu adalah obyek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain.
Dalam perspektif ini dikenal nama sosiolog George Herbert Mead (1863–1931), Charles Horton Cooley (1846–1929), yang memusatkan perhatiannya pada interaksi antara individu dan kelompok. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. Sosiolog interaksionisme simbolik kontemporer lainnya adalah Herbert Blumer (1962) dan Erving Goffman (1959).
Seperti yang dikatakan Francis Abraham dalam Modern Sociological Theory (1982)[1], bahwa interaksionisme simbolik pada hakikatnya merupakan sebuah perspektif yang bersifat sosial-psikologis yang terutama relevan untuk penyelidikan sosiologis. Teori ini akan berurusan dengan struktur-struktur sosial, bentuk-bentuk kongkret dari perilaku individual atau sifat-sifat batin yang bersifat dugaan, interaksionisme simbolik memfokuskan diri pada hakekat interaksi, pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial. Interaksi sendiri dianggap sebagai unit analisis: sementara sikap-sikap diletakkan menjadi latar belakang. Baik manusia dan struktur sosial dikonseptualisasikan secara lebih kompleks, lebih tak terduga, dan aktif jika dibandingkan dengan perspektif-perspektif sosiologis yang konvensional.Di sisi ini masyarakat tersusun dari individu-individu yang berinteraksi yang tidak hanya bereaksi, namun juga menangkap, menginterpretasi, bertindak, dan mencipta. Individu bukanlah sekelompok sifat, namun merupakan seorang aktor yang dinamis dan berubah, yang selalu berada dalam proses menjadi dan tak pernah selesai terbentuk sepenuhnya. Masyarakat bukanlah sesuatu yang statis “di luar sana” yang selalu mempengaruhi dan membentuk diri kita, namun pada hakekatnya merupakan sebuah proses interaksi. Individu bukan hanya memiliki pikiran (mind), namun juga diri (self) yang bukan sebuah entitas psikologis, namun sebuah aspek dari proses sosial yang muncul dalam proses pengalaman dan aktivitas sosial. Selain itu, keseluruhan proses interaksi tersebut bersifat simbolik, di mana makna-makna dibentuk oleh akal budi manusia. Makna-makna itu kita bagi bersama yang lain, definisi kita mengenai dunia sosial dan persepsi kita mengenai, dan respon kita terhadap, realitas muncul dalam proses interaksi.[2] Herbert Blumer, sebagaimana dikutip oleh Abraham (1982)[3] salah satu arsitek utama dari interaksionisme simbolik menyatakan: Istilah ‘interaksi simbolik’ tentu saja menunjuk pada sifat khusus dan khas dari interaksi yang berlangsung antar manusia. Kekhususan itu terutama dalam fakta bahwa manusia menginterpretasikan atau ‘mendefinsikan’ tindakan satu sama lain dan tidak semata-mata bereaksi atas tindakan satu sama lain. Jadi, interaksi manusia dimediasi oleh penggunaan simbol-simbol, oleh interpretasi, atau oleh penetapan makna dari tindakan orang lain. Mediasi ini ekuivalen dengan pelibatan proses interpretasi antara stimulus dan respon dalam kasus perilaku manusia.Pendekatan interaksionisme simbolik memberikan banyak penekanan pada individu yang aktif dan kreatif ketimbang pendekatan-pendekatan teoritis lainnya. Pendekatan interaksionisme simbolik berkembang dari sebuah perhatian ke arah dengan bahasa; namun Mead mengembangkan hal itu dalam arah yang berbeda dan cukup unik. Pendekatan interaksionisme simbolik menganggap bahwa segala sesuatu tersebut adalah virtual. Semua interaksi antarindividu manusia melibatkan suatu pertukaran simbol. Ketika kita berinteraksi dengan yang lainnya, kita secara konstan mencari “petunjuk” mengenai tipe perilaku apakah yang cocok dalam konteks itu dan mengenai bagaimana menginterpretasikan apa yang dimaksudkan oleh orang lain. Interaksionisme simbolik mengarahkan perhatian kita pada interaksi antarindividu, dan bagaimana hal ini bisa dipergunakan untuk mengerti apa yang orang lain katakan dan lakukan kepada kita sebagai individu.[4] Gagasan Teori Interaksionisme SimbolikIstilah paham interaksi menjadi sebuah label untuk sebuah pendekatan yang relatif khusus pada ilmu dari kehidupan kelompok manusia dan tingkah laku manusia. Banyak ilmuwan yang telah menggunakan pendekatan tersebut dan memberikan kontribusi intelektualnya, di antaranya George Herbert Mead, John Dewey, W.I Thomas, Robert E.Park, William James, Charles Horton Cooley, Florian Znaniceki, James Mark Baldwin, Robert Redfield dan Louis Wirth. Teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the self) dan dunia luarnya. Di sini Cooley menyebutnya sebagai looking glass self. Dengan mengetahui interaksionisme simbolik sebagai teori maka kita akan bisa memahami fenomena sosial lebih luas melalui pencermatan individu. Ada tiga premis utama dalam teori interaksionisme simbolis ini, yakni manusia bertindak berdasarkan makna-makna; makna tersebut didapatkan dari interaksi dengan orang lain; makna tersebut berkembang dan disempurnakan saat interaksi tersebut berlangsung.Menurut KJ Veeger[5] yang mengutip pendapat Herbert Blumer, teori interaksionisme simbolik memiliki beberapa gagasan. Di antaranya adalah mengenai Konsep Diri. Di sini dikatakan bahwa manusia bukanlah satu-satunya yang bergerak di bawah pengaruh perangsang entah dari luar atau dalam melainkan dari organisme yang sadar akan dirinya (an organism having self). Kemudian gagasan Konsep Perbuatan di mana perbuatan manusia dibentuk dalam dan melalui proses interaksi dengan dirinya sendiri. Dan perbuatan ini sama sekali berlainan dengan perbuatan-perbuatan lain yang bukan makhluk manusia. Kemudian Konsep Obyek di mana manusia diniscayakan hidup di tengah-tengah obyek yang ada, yakni manusia-manusia lainnya. Selanjutnya Konsep Interaksi Sosial di mana di sini proses pengambilan peran sangatlah penting. Yang terakhir adalah Konsep Joint Action di mana di sini aksi kolektif yang lahir atas perbuatan-perbuatan masing-masing individu yang disesuaikan satu sama lain.Menurut Soeprapto (2001),[6] hanya sedikit ahli yang menilai bahwa ada yang salah dalam dasar pemikiran yang pertama. “Arti” (mean) dianggap sudah semestinya begitu, sehingga tersisih dan dianggap tidak penting. “Arti” dianggap sebagai sebuah interaksi netral antara faktor-faktor yang bertanggungjawab pada tingkah laku manusia, sedangkan ‘tingkah laku’ adalah hasil dari beberapa faktor. Kita bisa melihatnya dalam ilmu psikologi sosial saat ini. Posisi teori interaksionisme simbolis adalah sebaliknya, bahwa arti yang dimiliki benda-benda untuk manusia adalah berpusat dalam kebenaran manusia itu sendiri. Dari sini kita bisa membedakan teori interaksionisme simbolis dengan teori-teori lainnya, yakni secara jelas melihat arti dasar pemikiran kedua yang mengacu pada sumber dari arti tersebut.Teori interaksionisme simbolis memandang bahwa “arti” muncul dari proses interaksi sosial yang telah dilakukan. Arti dari sebuah benda untuk seseorang tumbuh dari cara-cara di mana orang lain bersikap terhadap orang tersebut. Sehingga interaksi simbolis memandang “arti” sebagai produk sosial; Sebagai kreasi-kreasi yang terbentuk melalui aktifitas yang terdefinisi dari individu saat mereka berinteraksi. Pandangan ini meletakkan teori interaksionisme simbolis pada posisi yang sangat jelas, dengan implikasi yang cukup dalam. Tokoh-tokoh Teori Interaksionisme SimbolikMengikuti penjelasan Abraham (1982)[7], Charles Horton Cooley adalah tokoh yang amat penting dalam teori ini. Pemikiran sosial Cooley terdiri atas dua asumsi yang mendalam dan abadi mengenai hakikat dari kehidupan sosial, yaitu bahwa kehidupan sosial secara fundamental merupakan sebuah evolusi organik, dan bahwa masyarakat itu secara ideal bersifat demokratis, moral, dan progresif. Konsep evolusi organik-nya Cooley berbeda secara hakiki dari konsepnya Spencer dan para ilmuwan sosial abad kesembilanbelas. Sementara para pemikir yang lebih awal memusatkan diri pada aspek-aspek kolektif yang berskala-besar dari pembangunan, dari perjuangan kelas, dari lembaga sosial dan sebagainya, di sini Cooley berusaha mendapatkan sebuah pemehaman yang lebih mendalam mengenai individu namun bukan sebagai entitas yang terpisah dari masyarakat, namun sebagai sebuah bagian psiko-sosial dan historis dari bahan-bahan penyusun masyarakat. “Kehidupan kita adalah satu satu kehidupan manusia secara keseluruhan,” kata Cooley, “dan jika kita ingin memiliki pengetahuan yang riil atas diri individu, maka kita harus memandang individu secara demikian. Jika kita melihatnya secara terpisah, maka proses pengetahuan kita atas diri individu akan gagal.”Jadi, evolusi organik adalah interplay yang kreatif baik individu maupun masyarakat sebagai dua wujud dari satu fenomena yang sama, yang saling menegaskan dan beriringan meski tetap masih bisa dibedakan. ”Masyarakat adalah sebuah proses saling berjalinnya dan saling bekerjanya diri-diri yang bersifat mental (mental selves). Saya membayangkan apa yang Anda pikirkan, terutama mengenai apa yang Anda pikirkan tentang apa yang saya pikirkan, terutama mengenai apa yang saya pikirkan tentang apa yang Anda pikirkan.”Jadi, menurut Cooley, tugas fundamental dari sosiologi ialah untuk memahami sifat organis dari masyarakat sebagaimana dia berlangsung melalui persepsi-persepsi individual dari orang lain dan dari diri mereka sendiri. Jika sosiologi hendak memahami masyarakat, dia harus mengkonsentrasikan perhatiannya pada aktivitas-aktivitas mental dari individu-individu yang menyusun masyarakat tersebut. “Imajinasi yang saling dimiliki oleh orang-orang merupakan fakta-fakta yang solid dari masyarakat… Masyarakat adalah sebuah relasi di antara ide-ide yang bersifat personal.”Dalam konsep The Looking-Glass Self (Diri Yang Seperti Cermin Pantul), menurut Cooley, institusi-institusi sosial yang utama ialah bahasa, keluarga, industri, pendidikan, agama, dan hukum. Sementara institusi-institusi tersebut membentuk ‘fakta-fakta dari masyarakat’ yang bisa dipelajari oleh studi sosiologis, mereka juga merupakan produk-produk yang ditentukan dan dibangun oleh pikiran publik. Menurut Cooley, institusi-institusi tersebut merupakan hasil dari organisasi dan kristalisasi dari pikiran yang membentuk bentuk-bentuk adat-adat kebiasaan, simbol-simbol, kepercayaan-kepercayaan, dan sentimen-sentimen perasaan yang tahan lama.Oleh karena itu, institusi-institusi tersebut merupakan kreasi-kreasi mental dari individu-individu dan dipelihara melalui kebiasaan-kebiasaan manusiawi dari pikiran yang hampir selalu dilakukan secara tidak sadar karena sifat kedekatannya dengan diri kita (familiarity). Seperti yang ditegaskan oleh Cooley, ketika institusi-institusi masyarakat dipahami terutama sebagai kreasi-kreasi mental, maka individu bukanlah semata-mata ‘efek’ dari struktur sosial, namun juga merupakan seorang kreator dan pemelihara struktur sosial tersebut.Intinya, Cooley mengkonsentrasikan kemampuan-kemampuan analitiknya terhadap perkembangan dari diktum fundamentalnya, yaitu “Imajinasi-imajinasi yang saling dimiliki oleh orang-orang merupakan fakta-fakta yang solid dari masyarakat.” Dalam bukunya yang pertama, Human Nature and the Social Order, dia terfokus pada teori mengenai diri-yang-bersifat-sosial (social-self), yakni makna “Aku” sebagaimana yang teramati dalam pikiran dan perbincangan sehari-hari.Cuplikan dari buku karangan Riyadi Soeprapto. 2001. Interaksionisme Simbolik Perspektif Sosiologi Modern. Yogyakarta: Averroes Press dan Pustaka Pelajar.

Teori Interaksionisme Simbolik

Para ahli perspektif interaksionisme simbolik melihat bahwa individu adalah obyek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang disepakati bersama (Mulyana, 2001:84).
Interaksi simbolik, menurut Herbert Blumer, merujuk pada … “karakter interaksi khusus yang berlangsung antar manusia.” Aktor tidak semata-mata bereaksi terhadap tindakan yang lain tetapi dia menafsirkan dan mendefinisikan setiap tindakan orang lain. Respon aktor baik secara langsung maupun tidak langsung, selalu didasarkan atas makna penilaian tersebut. Oleh karenanya, interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol penafsiran atau dengan menemukan makna tindakan orang lain. Dalam konteks itu, menurut Blumer, aktor akan memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokan, dan mentransformasikan makna dalam kaitannya dengan situasi di mana dan ke arah mana tindakannya.
Teori interaksionisme simbolik sangat menekankan arti pentingnya “proses mental” atau proses berpikir bagi manusia sebelum mereka bertindak. Tindakan manusia itu sama sekali bukan stimulus – respon, melainkan stimulus – proses berpikir – respons. Jadi, terdapat variabel antara atau variabel yang menjembatani antara stimulus dengan respon, yaitu proses mental atau proses berpikir, yang tidak lain adalah interpretasi. Teori interaksionisme simbolik memandang bahwa arti/makna muncul dari proses interaksi sosial yang telah dilakukan. Arti dari sebuah benda tumbuh dari cara-cara dimana orang lain bersikap terhadap orang tersebut.
Teori interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis sosial manusia. Bagi perspektif ini, individu bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Paham ini menolak gagasan bahwa individu adalah organisme pasif yang perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan struktur yang ada di luar dirinya. Interaksilah yang dianggap variabel penting yang menentukan perilaku manusia, bukan struktur masyarakat.
Esensi interaksionisme simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif ini berupaya untuk memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Teori ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Manusia bertindak hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di sekeliling mereka. Dalam pandangan perspektif ini, sebagaimana ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegakan aturan-aturan, bukan aturan-aturan yang menciptakan dan menegakan kehidupan kelompok.
Menurut teoritisi perspektif ini, kehidupan sosial adalah “interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol.” Penganut interaksionisme simbolik berpandangan, perilaku manusia adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia di sekeliling mereka, jadi tidak mengakui bahwa perilaku itu dipelajari atau ditentukan, sebagaimana dianut teori behavioristik atau teori struktural.
Di dalam bukunya yang amat terkenal, yaitu ”Symbolic Interactionism; Perspective, and Method,” Herbert Blumer menegaskan bahwa ada tiga asumsi yang mendasari tindakan manusia (dalam Sutaryo, 2005). Tiga asumsi tersebut adalah sebagai berikut:
1)Human being act toward things on the basic of the meaning that the things have for them;
2)The meaning of the things arises out of the social interaction one with one’s fellow;
3)The meaning of things are handled in and modified through an interpretative process used by the person in dealing with the thing he encounters.
Premis pertama sampai ketiga itu mempunyai pengertian seperti ini.Pertama, bahwa manusia itu bertindak terhadap sesuatu (apakah itu benda, kejadian, maupun fenomena tertentu) atas makna yang dimiliki oleh benda, kejadian, atau fenomena itu bagi mereka. Individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia) berdasarkan makna yang dikandung komponen tersebut bagi mereka.
Kedua, makna tadi diberikan oleh manusia sebagai hasil interaksi dengan sesamanya. Jadi, makna tadi tidak inherent, tidak terlekat pada benda ataupun fenomenanya itu sendiri, melainkan tergantung pada orang-orang yang terlibat dalam interaksi itu. Makna dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Negosiasi itu dimungkinkan karena manusia mampu menamai segala sesuatu, bukan hanya objek fisik, tindakan, atau peristiwa (bahkan tanpa kehadiran objek fisik, tindakan, atau peristiwa itu) namun juga gagasan yang abstrak. Akan tetapi, nama atau simbol yang digunakan untuk menandai objek, tindakan, peristiwa, atau gagasan itu bersifat arbitrer (sembarang). Melalui penggunaan simbol itulah manusia dapat berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang dunia.
Ketiga, makna tadi ditangani dan dimodifikasi melalui proses interpretasi dalam rangka menghadapi fenomena tertentu lainnya. Makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial. Perubahan interpretasi dimungkinkan karena individu dapat melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya sendiri.
Menurut Ritzer, kesimpulan utama yang perlu diambil dari substansi teori interaksionisme simbolik adalah sebagai berikut. Kehidupan bermasyarakat itu terbentuk melalui proses komunikasi dan interaksi antarindividu dan antarkelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya melalui proses belajar. Tindakan seseorang dalam proses interaksi itu bukan semata-mata merupakan suatu tanggapan yang bersifat langsung terhadap stimulus yang datang dari lingkungannya atau dari luar dirinya, melainkan dari hasil sebuah proses interpretasi terhadap stimulus. Jadi jelas, bahwa hal ini merupakan hasil proses belajar, dalam arti memahami simbol-simbol, dan saling menyesuaikan makna dari simbol-simbol tersebut. Meskipun norma-norma, nilai-nilai sosial dan makna dari simbol-simbol itu memberikan pembatasan terhadap tindakannya, namun dengan kemampuan berpikir yang dimilikinya, manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan tindakan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapainya. Singkatnya, bahwa symbolic interactionist (para pengikut teori interaksionisme simbolik) memberi dasar penalaran bahwa, there is a ‘minding’process that interveness between stimulus and response. It is this mental process, and not simply the stimulus, that determines how a man will react (Ritzer, 1980:194, dalam Sutaryo, 2005).
Tokoh-tokoh yang mengembangkan teori pertukaran sosial antara lain adalah psikolog John Thibaut dan Harlod Kelley (1959), sosiolog George Homans (1961), Richard Emerson (1962), dan Peter Blau (1964).
Teori ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi dagang. Orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Thibaut dan Kelley, pemuka utama dari teori ini menyimpulkan teori ini sebagai berikut: “Asumsi dasar yang mendasari seluruh analisis kami adalah bahwa setiap individu secara sukarela memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari segi ganjaran dan biaya”.  Berdasarkan teori ini, kita masuk ke dalam hubungan pertukaran dengan orang lain karena dari padanya kita memperoleh imbalan. Dengan kata lain hubungan pertukaran dengan orang lain akan menghasilkan suatu imbalan bagi kita. Teori pertukaran sosial pun melihat antara perilaku dengan lingkungan terdapat hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal). Karena lingkungan kita umumnya terdiri atas orang-orang lain, maka kita dan orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost) dan keuntungan (profit).  Imbalan merupakan segala hal yang diperloleh melalui adanya  pengorbanan, pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya, pola-pola perilaku  di tempat kerja, percintaan, perkawinan, persahabatan – hanya akan langgeng manakala kalau semua pihak yang terlibat merasa teruntungkan. Jadi perilaku seseorang dimunculkan karena berdasarkan perhitungannya, akan menguntungkan bagi dirinya, demikian pula sebaliknya jika merugikan maka perilaku tersebut tidak ditampilkan.  Empat Konsep pokokGanjaran, biaya, laba, dan tingkat perbandingan merupakan empat konsep pokok dalam teori ini.
  • Ganjaran ialah setiap akibat yang dinilai positif yang diperoleh seseorang dari suatu hubungan. Ganjaran berupa uang, penerimaan sosial atau dukungan terhadap nilai yang dipegangnya. Nilai suatu ganjaran berbeda-beda antara seseorang dengan yang lain, dan berlainan antara waktu yang satu dengan waktu yang lain. Buat orang kaya mungkin penerimaan sosial lebih berharga daripada uang. Buat si miskin, hubungan interpersonal yang dapat mengatasi kesulitan ekonominya lebih memberikan ganjaran daripada hubungan yang menambah pengetahuan.
  • Biaya adalah akibat yang dinilai negatif yang terjadi dalam suatu hubungan. Biaya itu dapat berupa waktu, usaha, konflik, kecemasan, dan keruntuhan harga diri dan kondisi-kondisi lain yang dapat menghabiskan sumber kekayaan individu atau dapat menimbulkan efek-efek yang tidak menyenangkan. Seperti ganjaran, biaya pun berubah-ubah sesuai dengan waktu dan orang yang terlibat di dalamnya.
  • Hasil atau laba adalah ganjaran dikurangi biaya. Bila seorang individu merasa, dalam suatu hubungan interpersonal, bahwa ia tidak memperoleh laba sama sekali, ia akan mencari hubungan lain yang mendatangkan laba. Misalnya, Anda mempunyai kawan yang pelit dan bodoh. Anda banyak membantunya, tetapi hanya sekedar supaya persahabatan dengan dia tidak putus. Bantuan Anda (biaya) ternyata lebih besar daripada nilai persahabatan (ganjaran) yang Anda terima. Anda rugi. Menurut teori pertukaran sosial, hubungan anda dengan sahabat pelit itu mudah sekali retak dan digantikan dengan hubungan baru dengan orang lain.
  • Tingkat perbandingan menunjukkan  ukuran baku (standar) yang dipakai sebagai kriteria dalam menilai hubungan individu pada waktu sekarang. Ukuran baku ini dapat berupa pengalaman individu pada masa lalu atau alternatif hubungan lain yang terbuka baginya. Bila pada masa lalu, seorang individu mengalami hubungan interpersonal yang memuaskan, tingkat perbandingannya turun. Bila seorang gadis pernah berhubungan dengan kawan pria dalam hubungan yang bahagia, ia akan mengukur hubungan interpersonalnya dengan kawan pria lain berdasarkan pengalamannya dengan kawan pria terdahulu. Makin bahagia ia pada hubungan interpersonal sebelumnya, makin tinggi tingkat perbandingannya, berarti makin sukar ia memperoleh hubungan interpersonal yang memuaskan.
Homans dalam bukunya “Elementary Forms of Social Behavior, 1974 mengeluarkan beberapa proposisi dan salah satunya berbunyi :”Semua tindakan yang dilakukan oleh seseorang, makin sering satu bentuk tindakan tertentu memperoleh imbalan, makin cenderung orang tersebut menampilkan tindakan tertentu tadi “. Proposisi ini secara eksplisit menjelaskan bahwa satu tindakan tertentu akan berulang dilakukan jika ada imbalannya. Proposisi lain yang juga memperkuat proposisi tersebut berbunyi : “Makin tinggi nilai hasil suatu perbuatan bagi seseorang, makin besar pula kemungkinan perbuatan tersebut diulanginya kembali”. Bagi Homans, prinsip dasar pertukaran sosial adalah “distributive justice” – aturan yang mengatakan bahwa sebuah imbalan harus sebanding dengan investasi. Proposisi yang terkenal sehubungan dengan prinsip tersebut berbunyi ” seseorang dalam hubungan pertukaran dengan orang lain akan mengharapkan imbalan yang diterima oleh setiap pihak sebanding dengan pengorbanan yang telah dikeluarkannya – makin tingghi pengorbanan, makin tinggi imbalannya – dan keuntungan yang diterima oleh setiap pihak harus sebanding dengan investasinya – makin tinggi investasi, makin tinggi keuntungan”. Inti dari teori pembelajaran sosial dan pertukaran sosial  adalah perilaku sosial seseorang hanya bisa dijelaskan oleh sesuatu yang bisa diamati, bukan oleh proses mentalistik (black-box). Semua teori yang dipengaruhi oleh perspektif ini menekankan hubungan langsung antara perilaku yang teramati dengan lingkungan.
Pendekatan Obyektif
Teori Pertukaran sosial ada di pendekatan objektif. Pendekatan ini disebut “obyektif” berdasarkan pandangan bahwa objek-objek, perilaku-perilaku dan peristiwa-peristiwa eksis di suatu dunia yang dapat diamati oleh pancaindra (penglihatan, pendengaran, peraba, perasa, dan pembau), dapat diukur dan diramalkan.
Teori Pertukaran sosial beranggapan orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Pada pendekatan obyektif cenderung menganggap manusia yang mereka amati sebagai pasif dan perubahannya disebabkan kekuatan-kekuatan sosial di luar diri mereka. Pendekatan ini juga berpendapat, hingga derajat tertentu perilaku manusia dapat diramalkan, meskipun ramalan tersebut tidak setepat ramalan perilaku alam. Dengan kata lain, hukum-hukum yang berlaku pada perilaku manusia bersifat mungkin (probabilistik). Misalnya, kalau mahasiswa lebih rajin belajar, mereka (mungkin) akan mendapatkan nilai lebih baik; kalau kita ramah kepada orang lain, orang lain (mungkin) akan ramah kepada kita; bila suami isteri sering bertengkar, mereka (mungkin) akan bercerai.
Sumber:
Modul 4 & Modul 6 Teori Komunikasi Farid Hamid M Si
Perspektif dalam Psikologi Sosial Hasan Mustafa
Teori  Pertukaran Sosial dari Thibault dan Kelley ini menganggap bahwa bentuk dasar dari hubungan sosial adalah sebagai suatu transaksi dagang, dimana orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya. Pada perkembangan selanjutnya, berbagai pendekatan dalam teori pertukaran sosial semakin fokus pada bagaimana kekuatan hubungan antar pribadi mampu membentuk suatu hubungan interaksi dan menghasilkan suatu usaha, untuk mencapai keseimbangan dalam hubungan tersebut.
Teori pertukaran sosial ini juga digunakan untuk menjelaskan berbagai penelitian mengenai sikap dan perilaku dalam ekonomi (Theory of Economic Behavior). Selain itu, teori ini juga digunakan dalam penelitian komunikasi, misalnya dalam konteks komunikasi interpersonal, kelompok dan organisasi. Oleh karena itu, teori pertukaran sosial ini, selain menjelaskan mengenai sikap dalam ekonomi, juga menjelaskan mengenai hubungan dalam komunikasi.
Thibault dan Kelley menyimpulkan model pertukaran sosial sebagai berikut, “asumsi dasar yang mendasari seluruh analisis kami adalah setiap individu secara sukarela memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari segi ganjaran dan biaya”. Ganjaran, biaya, laba dan tingkat perbandingan merupakan empat konsep pokok dalam teori ini (Rahmat, 2002: 121).
Empat konsep tersebut antara lain:
1.       Ganjaran ialah setiap akibat yang dinilai positif yang diperoleh seseorang dalam suatu hubungan. Ganjaran berupa uang, penerimaan sosial atau dukungan terhadap nilai yang dipegangnya. Nilai suatu ganjaran berbeda beda antara seseorang dengan yang lain, dan berlainan antara waktu yang satu dengan waktu yang lain.
2.       Biaya adalah akibat yang dinilai negatif yang terjadi dalam suatu hubungan. Biaya itu dapat berupa waktu, usaha, konflik, kecemasan dan keruntuhan harga diri dan kondisi-kondisi lain yang dapat menghabiskan sumber kekayaan individu atau dapat menimbulkan efek-efek yang tidak menyenangkan. Seperti ganjaran, biaya pun berubah-ubah sesuai dengan waktu dan orang yang terlibat didalamnya.
3.       Hasil dan laba adalah ganjaran dikurangi biaya. Bila dalam suatu hubungan seorang individu merasa bahwa ia tidak memperoleh laba sama sekali, ia akan mencari hubungan lain yang mendatangkan laba.
4.       Tingkat perbandingan menunjukkan ukuran baku (standar) yang dipakai sebagai kriteria dalam menilai hubungan individu pada masa lalu atau alternatif hubungan lain yang terbuka baginya. Bila pada masa lalu seorang individu mengalami hubungan yang memuaskan, tingkat perbandingannya menurun.
Asumsi-asumsi dasar yang digunakan dalam teori ini adalah:
1.      Individu yang terlibat dalan interkasi akan memaksimalkan rewards
2.      Individu memiliki akses untuk informasi mengenai sosial, ekonomi, dan aspek-aspek psikologi dari interkasi yang mengizinkan mereka untuk mempertimbangkan berbagai alternatif.
3.      Individu bersifat rasional dan memperhitungkan kemungkinan terbaik untuk bersaing dalam situasi menguntungkan.
4.      Individu berorientasi pada tujuan dalam system kompetisi bebas.
5.      Pertukaran norma budaya.

0 komentar:

Posting Komentar

Loading...


Mau punya buku tamu seperti ini?
Klik di sini
Get This Gadget